Stamplat, atau yang masyarakat sekarang lebih mengenal dengan istilah terminal transportasi publik, telah menjadi bagian penting dari infrastruktur perkotaan di Indonesia sejak masa kolonial Belanda. Stamplat, berasal dari istilah Belanda stamplein yang artinya  tempat berhenti. Secara harfiah, stamplat juga dikaitkan dengan istilah Belanda "staanplaat" yang diartikan sebagai lapangan atau tanah lapang yang luas.
Stamplat dapat dipahami sebagai tempat pemberhentian dari sejumlah arah yang berada di tanah lapang yang luas. Dulunya, stamplat adalah pusat aktivitas transportasi, ekonomi, dan sosial di banyak kota. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, banyak stamplat mengalami degradasi fungsi hingga menjadi ruang terbengkalai, jauh dari kejayaan masa lalunya.
Pada masa kolonial Belanda, stamplat dibangun untuk mendukung mobilitas yang efisien di kota-kota besar seperti Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Semarang. Terminal ini dirancang dengan arsitektur fungsional yang mengutamakan efisiensi ruang dan sirkulasi kendaraan, sekaligus menjadi pusat interaksi masyarakat. Posisi strategis stamplat, biasanya di dekat pasar atau kawasan perdagangan, menjadikannya vital bagi aktivitas ekonomi masyarakat setempat.
Pada era pasca-kemerdekaan, pemerintah Indonesia melanjutkan fungsi stamplat sebagai simpul utama transportasi darat. Terminal seperti Giwangan di Yogyakarta dan Bungurasih di Surabaya menjadi model terminal yang terintegrasi dengan berbagai moda transportasi. Stamplat tidak hanya melayani angkutan kota dan bus antarkota, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi lokal melalui kegiatan komersial seperti kios makanan, toko suvenir, dan pedagang kaki lima.
Dinamika Kemunduran Stamplat
Kemunduran fungsi stamplat dimulai pada akhir abad ke-20, seiring dengan perubahan preferensi masyarakat terhadap transportasi pribadi. Salah satu faktor utama yang menyebabkan stamplat kehilangan relevansi adalah urbanisasi dan perubahan pola mobilitas.Â
Meningkatnya populasi perkotaan diiringi dengan ledakan penggunaan kendaraan pribadi, seperti sepeda motor dan mobil, yang menggeser ketergantungan masyarakat pada transportasi publik. Jalan-jalan utama menjadi penuh sesak, sementara stamplat kehilangan penumpang.
Persaingan dengan transportasi online setidaknya memicu mobilitas masyarakat tidak lagi menggantungkan stamplat atau terminal. Kehadiran ojek dan taksi online menawarkan kemudahan akses yang mengurangi daya tarik terminal sebagai pusat transportasi. Banyak pengguna lebih memilih layanan berbasis aplikasi yang menawarkan kenyamanan door-to-door.
Manajemen dan infrastruktur stamplat juga cenderung terbengkalai. Minimnya perawatan dan modernisasi membuat banyak stamplat tidak lagi memenuhi standar kenyamanan dan keamanan. Fasilitas seperti toilet, ruang tunggu, dan kios sering kali dibiarkan rusak tanpa perbaikan.Â