Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Roman: Latah

24 Februari 2014   16:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pedagang sudah mulai ramai menjelang sore hari di sentra pasar Kota, dagangan makanan, pakaian, semua jenis keperluan. Semakin sore semakin ramai dengan pemuda pemudi yang keluar berpasangan, motor-motor yang tak lengkap dengan surat-surat itu beriring-iringan di jalan aspal. Sentra pasar itu terletak dengan jalan yang menghubungan antara wilayah pesisir dan bagian kota yang lain menjadikan pasar semakin ramai, orang-orang yang mendapatkan mata pencahariannya di Kota saatnyapun pulang kembali ke desa masing-masing—ada yang menyebrang laut ada juga yang melalui jalan darat. Semakin sore kemudian terdengar kumandang azan dari seluruh arah mata angin, di sini adalah tempatnya religi, sebahagian besar beragama Islam dan hanya sedikit yang beragama Kristen, Hindu, Budha dan kalaupun ada konghucu.

Tidak jauh dari sentra pasar, terdapat dua bangunan sejarah, bangunan yang menjadi simbol kebangkitan islam dan rezim kerajaan Bima pada zamannya. Istana Bima (Asi Mbojo) dan masjid Sultan Salahudin. Untuk sampai ke pusat pemerintahan Kota, niscaya akan selalu melewati kedua bangunan ini, ataupun sebaliknya.

Tempat ini strategis sebagai basis pemerintahan dan pertahanan pada masanya. Dapat melihat teluk yang terbentang indah di barat sebagai jalur dagang dan pintu masuk utama untuk sampai wilayah ini dahulu. Tempat ini kemudian menjadi museum kebanggan masyarakat.

Masyarakat ini adalah masyarakat yang sudah tercampur baur, dari jawa, keturunan indo-cina, padang, melayu, makasar, Madura dan masyarakat mbojo. Ini mempengaruhi pemetaan ekonomi yang ada di Kota Bima. Sudah seperti daerah-daerah lain di Nusantara, pedagang dahulunya melewati jalur laut sebagai sarana transportasi, daerah pesisir kemudian akan banyak di tempati oleh berbagai macam keturunan. Adapun masyarakat dominan di sentra pasar sebagai pedagang dan penjual jasa bisa pula kita tebak.

Tanahnya adalah dana mbari (baca: tanah keramat)—tanah yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ke-Islam-an, nilai budaya, seni dan sejarahnya. Tanah yang melahirkan dan memupuk manusia berbudi pekerti luhur.

Sampai datanglah waktu yang merubah zaman dan generasi.

Tahun 2001 adalah tahun kemunculan pemerintahan baru, lewat amanat reformasi, pemekaran dan desentralisasi menjadi agenda utama dalam pemerintah nasional. Kota Bima ikut menjadi anak dari pemekaran. Aparatur Negara muncul sebagai yang baru, masyarakat semakin ramai, lapangan kerja kemudian mulai tumbuh.

Untuk pedagang mereka akan tetap jadi pedagang, mereka setidak-tidaknya ikut dengan salah satu cara Rasulullah, lainnya ada yang menjadi pedagang baru, usaha jasa transportasi, tenaga kerja lokal dan ramai dengan menjadi pegawai negeri.

Tidak tahu bagaimana seterusnya masyarakat ini sangat popular dengan pegawai negeri sipil. Sehingga usaha untuk bangun pekerjaan swadaya hanya jadi barang sekunder atau bahkan tersier. Anak-anak sudah banyak disekolahkan. Ratusan juta keluar tiap bulan ke tempat-tempat pendidikan di jawa, bali atau juga Sulawesi. Sarjana-sarjana kembali, masuk pegawai dibeli. Sarjana pertanian jadi guru sekolah dasar, sarjana hukum juga pendidikan senang jadi honorer, sarjana lain juga suka ikut-ikutan.

Ini sudah jadi barang biasa di Kota, silahkan berebut, silahkan bersikut. Jangan salah menilai, ini dana mbari.

Profesi ini sudah menjamur ke seluruh desa dan kampung-kampung, yang punya cukup tanah dan ternak untuk sekolahkan anak mendapatkan asa agar anak dapat menjadi sebegai pegawai, setidak-tidaknya tanah-ternak akan dijadikan duit untuk tembus status honorer, selebihnya akan mengerjakan sawah di kampung yang ada turun-temurun.

Untungnya jadi pegawai juga punya sekolah khusus, sekolah praja. Lulusnya membawa NIP di tangan. Jabatan cepat terdongkrak, punya wawawan pemerintahan yang lebih kompleks. Banyak pula yang menggelontorkan duit untuk sekolah ini. Hanya jadi rahasia umum.

Hasan salah satu generasi yang tumbuh bersama ke-latah-an dou mbojo (baca: orang Bima). Tumbuh dalam lingkungan keluarga sedang saja. Di desa yang jaraknya tidak lebih 100 kilometer dari pusat Kota Bima, ia punya beberapa petak sawah dan tambak yang cukup luas. Peninggalan turun-temurun. Hanya butuh 1 jam saja lewat jalan darat dan cukup 30 menit untuk lewat jalur laut menuju desanya.

Ia juga ikut menempuh sekolah pemerintahan tersebut dan lulus sekitar tahun 2000an, berdekatan dengan reformnya nasional. Paras dan badannya cukup sigap, sudah siap menjadi aparatur Negara—untuk berbakti pada Negara.

Bagi perempuan-perempuan Bima, pegawai negeri adalah profesi yang menjanjikan untung, yang penting dia sudah dapat sekolah di institut khusus itu, kemudian hidup kedepan insyaAllah akan dapat status yang baik, punya nasib yang baik. Pandangan yang kemudian menjadi referensi umum bagi orang tua yang punya anak-anak perempuan.

Setelah lulus dari sekolah, hasan kemudian langsung mendapatkan tempat kerja seperti yang diusahakan selama ini. Ia bekerja menjadi salah satu staf di pemerintahan daerah Bima. Semakin lama ia bekerja, semakin baik pula prestasinya. Ia kemudian bertambah yakin bisa memilih dan memilah calon istri yang akan mengarungi samudera hidup.

“bu hasan ingin menikah, sepertinya hasan sudah waktunya untuk membina rumah tangga sendiri”.

“Ia nak, engkau carilah calonnya, ibu insyaAllah akan merestui, lagipula sekarang engkau sudah jadi orang, sudah bisa cari nafkah sendiri, engkau sudah jadi pegawai”

“ia bu”, ia mencium tangan ibunya. Perasaanya bercampur kebanggaan, senang sekaligus takut, ia takut meninggalkan ibunya seorang diri.

Ketakutannya itu karena terbawa khawatir yang begitu besar terhadap ibundanya. Ia anak tunggal dan ayahnya sudah kembali pada genggaman sang khaliq saat ia menempuh studi pemerintahannya. Tak ada lagi yang akan menemani ibundanya semenjak itu, kecuali tetangga dan orang suruhan yang mengerjakan sawah dan tambak di desa.

Hasan begitu ingat dengan pesan-pesan ibundanya, “san, engkau anak ibu satu-satunya, sekarang hanya engkau anugerah paling baik yang ibu punya di dunia. Semenjak ayahmu meninggal, ibu selalu takut dengan masa depanmu, takut kalau engkau kecewa dengan ibu. Takut kalau kau disakiti oleh orang lain karena perkara ayahmu tidak ada. Do’a-do’a untuk kebaikan seorang anak, keberhasilan seorang anak dengan cita-citanya lebih barokah apabila berasal dari ayahmu juga. Engkau tahu maksud ibu kan nak. Jangan sekali-kali kau tinggalkan shalatmu lima waktu, usahakan lakukan di surau atau masjid. Ingat baik-baik maja labo dahu (baca: malu dan takut), malu kita melakukan hal-hal yang buruk dan dilarang oleh agama, malu kita mengambil yang bukan punya sendiri, malu kita meninggalkan shalat dan ibadah, takutlah hanya kepada tuhan nak, kepada Allah SWT , bukan pada ibu, teman, pimpinan atau masyarakat. Sedang kedua hal itu tak akan bisa terpisah, ketika kau sudah takut hanya kepada Allah engkau akan malu menjalankan larangannya dan membiarkan perintahnya. Ketika engkau malu kepada Allah engkau tak akan takut dengan apapun selama itu dalam jalur yang benar sesuai dengan agama, ibu akan selalu mendo’akanmu nak, do’a yang sebaik-baiknya”. Itu sangu yang didapatkan hasan setelah dua hari ayahnya meninggal dunia.

Usahanya dalam pekerjaan sudah menunjukkan hasil, ia sudah bisa membeli tanah, mengembangkan usaha pertanian dan ternak yang ia dapatkan dari warisan turun-temurun, sudah bisa dikatakan mapan. Tentu saja tidak banyak orang yang bisa melakukan hal seperti hasan. Sembari itu ia sedang mencari calon pendamping hidup yang ia harap bisa jadi teman perjuangannya kemudian.

Masyarakat Bima saat itu masih beranggapan bahwa perihal pernikahan merupakan hal yang sakral—bukan perihal mudah. Setidaknya hal tersebut juga yang didapatkan hasan dalam agamanya. Sebab itu sang istri harus memenuhi bibit bebet, dan bobot.

Di banyak tempat lain yang terkenal dengan masyarakat yang lebih beradab, karena letak geografisnya bisa dikatan sebagai kota besar—sudah semakin tak nampak bahwa pernikan adalah hal sakral. Pernikahan sudah seperti barang dagangan, siapa yang mempunyai duit akan membeli sang perempuan, setelah habis barang yang ada pada perempuan mulailah banyak masalah yang melanda samudera rumah tangga. Satu sampai setidaknya tiga bulan pertama adalah fase yang dikatakan bulan madu—bulan yang menjadikan satu antara perempuan dan laki-laki. Selanjutnya setelah satu pasangan mengetahui tabiat dan perangai masing-masing akan mulai terbentang medan untuk mencari satu atau dua kesalahan. Begitu pernikahan yang memang bukan hal sakral, maka semakin usia pernikahan semakin bertambahlah masalah, dari satu menjadi lima, dari lima menjadi sepuluh, dari sepuluh kemudian kata talak akan mudah terucap, begitulah seterusnya.

Hal tersebutlah yang menjadi perhatian hasan, ia bersyukur karena lahir di tempat yang penuh dengan nuansa keislaman, tata karma, dan (maja labo dahu). Sebab itu ia tak akan pernah berpikir untuk berdagang dalam pernikahan.

Selayaknya kebiasaan atau mungkin juga kebudayaan yang tidak dapat diganggu seperti di tempat lain di  nusantara, masyarakat ini memiliki kecenduran tertentupun dalam soal pernikahan. Calon istri atau juga suami diwanti-wanti harus merupakan orang bima itu sendiri (dou mbojo)—ini merupakan syarat tersirat yang selalu muncul dalam setiap orang tua. Mboto ma waura iu (baca: banyak yang sudah merasakan) bahwa bernikah dengan orang selain orang sendiri tidak baik. banyaklah nada negatif dari tipe orang yang dibanding-bandingkan. Kalau orang …. tidak bisa diajak susah, tidak bisa diajak makan garam dalam berumah tangga, orang …. perempuanya banyak makan nanti bisa menyusahkan saja, laki-laki dari ….. senang punya istri lebih dari satu dan lain-lain.

Begitu banyak pertimbangan tersirat dari pada pertimbangan yang tersurat. Inipula yang dijalani oleh hasan. Ia tidak mau menjadi bahan cibiran orang-orang bima yang lain—karena satu kesalahan orang yang bukan merupakan keturunan mbojo lebih berat ditanggung dari sepuluh kesalahan yang dibuat oleh orang bima sendiri. Ia tidak mau jadi anak yang tidak berbakti pada orang tua dan masyarakatnya. Walau orang tuanya tidak punya kriteria seperti itu untuk calon istri hasan.

Setelah banyak menimbang tentang hal tersebut, kemudian hasan mulai bertanya kepada seorang teman kerjanya, teman baiknya dari desa. Berteman sudah 10 tahun yang lalu.

“sam, bagaimana menurutmu tentang yati, aku berniat ingin menjadikannya sebagai istriku”

“ah sungguh kau san”

Terlihat wajah serius yang dihadapi hasan, ia menemukan wajah samsul bak orang yang siap mecibirnya, bak orang yang akan menjatuhkannya. Ia kemudian terdiam sesaat.

“engkau kenapa hasan, kenapa wajahmu jadi ragu”, lanjut samsul dengan senyumnya.

“ah temanku ini, bagaimana mungkin kau berani menghadapi orang tua yati kalau melihat wajahku saja kau sudah ragu”, samsul tertawa perlahan.

“tentu saja kau cocok dengan yati, siapa juga yang tidak ingin punya suami sepertimu san, engkau sudah mapan bukan”.

Seakan tidak puas, hasan kemudian membalas samsul dengan wajah penuh keseriusan.

“jangan bercanda kau sam, mapan juga aku belum, bagaimana aku bisa hadapi pertanyaan orang tua nurhayati yang jadi tokoh masyarakat di desa kita ini, lihat saja suami-suami dari kakak nurhayati, orangnya sudah berada semua, sudah kaya, anak orang terkemuka juga di kampung sebelah. Aku baru tiga tahun jadi pegawai dan baru sedikit punya tanah—lainnya hanya tanah dan ternak peninggalan orang tuaku sam”.

Hasan adalah orang yang cepat melayang kalau dipuji, dan ia sedang berusaha untuk membuat dirinya melayang oleh temannya sendiri.

Samsul kemudian tertawa perlahan sejenak.

“san, hasan”

“kau ini, bagaimana mungkin pak haji akan nolak pinangan dirimu yang sekarang, di kampung kita saja orang-orang sudah mulai berbicara tentang dirimu, banyak juga yang sudah bertanya-tanya padaku tentang engkau, hanya saja karena engkau kemarin sibuk, belum sempat aku bicaran perkara ini kepada engkau. Bahkan yatipun sepertinya sudah jatuh lebih dahulu dengan pesonamu san, kalau kau tak percaya coba tanyakan langsung pada nurhayati”, lanjutnya dengan tertawa.

Hasan mulai lepas landas.

“ah ada-ada saja kau ini sam”

“ya san”, sam mulai dengan nada yang serius.

“sebagai temanmu, sahabatmu, tentu aku mendukungmu dengan yati. Kalian berdua sangat cocok, apalagi yati juga sudah bekerja, sudah jadi pegawai juga, kalian pasti jadi suami-istri yang baik nanti san. Sudah tidak ada lagi yang harus kau takutkan, sekarang tinggal selangkah lagi kau menjadi manusia yang sempurna, karena tulang rusukmu sudah engkau temukan dan hendak kau sambung kembali dalam hidupmu. Yati perempuan yang baik pula, ramah dan tahu sopan santun. Anak seorang hajipula—kau sudah mendapatkan bibit, bebet dan bobot dalam satu perempuan itu”.

“tapi bagaimana tentang …. “, belum selesai melanjutkan, samsul memotong.

“dengan pak haji maksudmu, kau tidak usah khawatir san, di kampung kita ini, nama engkau yang paling bersinar dibanding dengan laki-laki lain yang seumuran dengan kita saat ini. Pak haji sudah tahu persis watakmu, pekerjaanmu, masa depanmu lewat suara-suara yang dibawa angin. Aku yakin pak hajipun insyaAllah merestuimu nanti. Tak mungkinlah pak haji hendak menolah orang sebaik dirimu”.

Hasan mulai terbang dengan semua kalimat itu, iapun sadar dan membenarkan apa yang dikatakan temannya, ia menjadi percaya diri dan semakin yakin kalau yati akan menjadi istrinya.

“ah kau bisa saja sam, bisanya kau membesarkan hatiku seperti itu”.

Seminggu setelah pembicaraanya dengan samsul, ia juga sudah melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk dari Allah SWT, ia meyakinkan diri akan menyampaikan perihal perempuan tersebut pada ibundanya. Ia sudah mantab dengan keputusannya tersebut. Iya meyakinkan dalam hatinya, bahwa inilah hal yang sakral, hal yang tidak boleh ada perkara permainan, hal yang akan menentukan kebaikan bagi dirinya, masyarakat dan juga untuk generasi yang akan datang. Ini adalah ibadah.

“ibu, kalau ibu tidak keberatan, hasan ingin sampaikan perihal calon istri yang selama ini hasan impikan ibu”

“iya nak, sudah adakah seseorang yang menarik hatimu”

“iya ibu, hasan sudah mendapatkannnya”. Dengan wajah yang penuh sayang, hasan kemudian melanjutkan.

“hasan tertarik hati dengan nurhayati bu, orang sekampung kita, anak haji Mansur”.

Ibunya terdiam sesaat, wajah hasan menunduk saat mengucapkan itu, menunggu lontaran kata yang akan keluar dari mulut ibundanya.

Ibunya kemudian menghela nafas.

“alhamduillah”

Hasan kemudian mengangkat wajahnya, melihat kepada raut ibunya yang sudah tersenyum bangga pada anaknya tersebut.

“Alhamdulillah nak, ibu merestuimu”

Begitu tak bisa diluapkan oleh hasan, perasaan bahagianya mendapat restu dari ibunya, restu yang seakan menjadi air sorga, kata yang lembut yang hanya ia bisa rasakan dari ibundanya tersebut.

Hasan tak tahu kenapa tiba-tiba ia meneteskan air mata, ia memeluk ibunya, semakin erat ia memeluk ibunya.

Begitulah manusia, ketika keinginan berbalas restu orang tua, tak akan ada pertanyaan bahkan alasanpun akan menjadi mati. Ketika tak direstui akan banyak cara untuk menjadikan keinginan itu terwujud walau sudah banyak alasan baik untuk menolak—terkadang akan memunculkan umpatan kecil yang tak wajar untuk dikeluarkan.

Hari itu seperti membuka pintu sorga bagi hasan, ibundanyapun seperti itu. ibundanya semakin yakin bahwa anaknya akan mendapat kehidupan yang lebih baik kelak. Bukankah semua harapan orang tua seperti itu kepada anaknya, sedang seorang anak terkadang mengutuk keinginan itu dengan pengalaman hidupnya yang masih seumur reformasi di Indonesia.

Hasan sudah bisa memilih dan memilah calon istri yang baik, tentu ia sudah berpikir cukup jauh tentang soal ini. Ibunda hasan berteman cukup baik dengan ibunda nurhayati, tentu saja secara tidak langsung ia tahu tentang perangai dan tabiat yati yang jadi buah bibir di kampungnya itu—bukan perangai imitasi, karena ia melihatnya secara langsung ketika bersilaturahim ke rumah haji Mansur.

Sudah jadi harapannya pula, anaknya yang satu-satunya dapat menempuh hidup bersama dengan hayati, walau hal ini tak pernah disadari oleh hasan. Tak henti-hentinya ia berdo’a di sepertiga malam dan bersyukur atas segala karunia dan kehidupanya selama ini. Alhamdulillah, Subhanallah, Allahu Akbar. Berikan anakku ketetapan iman dan rahmatmu Ya Rabb.

(bersambung)>

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun