Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menuju Kemerdekaan Individu (2)

22 Januari 2014   11:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lahirnya Kemerdekaan Bangsa

Kemerdekaan suatu bangsa atau juga sebuah Negara menjadi pintu untuk kemerdekaan-kemerdekaan yang lain, inilah yang menjadi amanat Soekarno, Hatta, Syahrir dan pejuang kemerdekaan yang lain. Baik itu dikatakan kemerdekaan, secara politik, kemerdekaan secara ekonomi atau juga kemerdekaan untuk berpendapat. Ketiga unsur ini yang sekiranya pada saat masa kolonialis terkungkung dalam kata “penjajahan”. Apa yang kita rasakan setelah kemerdekaan yang telah diakui secar de facto dan de jure saat ini setidaknya menunjukkan perubahan, walau dibeberapa sisi ada nada yang masih mengatakan bahwa secara ekonomi ataupun politik Negara ini belum sepenuhnya merdeka.

Melihat kembali pada sejarah, tak bisa dibayangkan seberapa banyak korban materi dan korban non-materi yang telah dikorbankan untuk meraih suatu pengakuan, yaitu kemerdekaan yang sering kita selebrasikan pada tanggal 17 Agustus tiap tahunnya. Kita juga tentu tahu, bahwa muncul dan terbenamnya organisasi-organisasi pribumi seperti SI, Budi Utomo, PNI, atau juga organisasi Sosialis menandakan bahwa saat itu sangat penuh dengan ancaman, peradilan hukum yang tidak kunjung datang, penculikan, dan sebagainya telah menjadi syarat untuk yang ingin berjuang. Betul saja yang dikatakan oleh soe hok gie bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah tentang penderitaan.

Yang menarik dari semua perjuangan (baca:kemerdekaan) itu adalah , bahwa orang-orang di Indonesia saat itu secara aklamasi, mengiyakan bahwa negeri ini harus “mengatur dirinya sendiri” demi mencapai “kemakmuran”, setidaknya mereka yang proaktif dalam pergerakan secara organisasi maupun secara serabutan. Kita tidak mau tunduk lagi dengan aturan dan sistem yang sudah menancap hampir 4 Abad dan tentu saja ini bukan tanpa konsepsi.

Apa yang saya sebut sebagai konsepsi, dapat diartikan sebagai suatu cita-cita atau visi ke depan, dan kemerdekaan (pengakuan keberadaan Negara Indonesia) hanyalah pintu yang wajib dilewati. ide-ide tentang kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, pengakuan hak-hak manusia telah terpatri sebelum kemerdekaan itu sendiri, hanya saja baru bisa ditelurkan dalam bentuk teori yang komprehensif setelah bangsa ini membina negaranya sendiri, seperti dalam bentuk gotong royong, koperasi, demokrasi, UUD, Pancasila dan sebagainya.

Perjalanan panjang menuju kemerdekaan bangsa ini (17 Agustus 1945) tentunya harus kita pahami    sebagai pertalian yang akan menentukan kemerdekaan-kemerdekaan selanjutnya—terutama terkait dengan terminologi kemerdekaan Individu.



Dari Kawulo sampai Warga Negara

Tidak bosan saya mengingat tentang kata-kata presiden pertama kita “Jas Merah”, Jangan sekali-sekali melupakan sejarah, yang memiliki arti mendalam sebagai salah satu social control sekaligus menjadi tools untuk perencanaan ke depan . Itu yang akan saya coba tuliskan dengan keterbatasan yang saya miliki.

Dalam beberapa babakan sejarah, tampaknya yang paling mempengaruhi lahirnya sejarah adalah keberadaan dari orang-orang yang tidak mampu, dalam Islam dikatakan sebagai kaum dhuafa. Sama seperti yang telah saya kutip dari kata-kata soe hok gie di atas, hanya orang-orang tertentu saja yang disebutkan dalam buku-buku sejarah. Indonesia yang terkenal dengan ramainya kerajaan-kerajaan Hindu, Budha maupun Islam pada waktu lampau ternyata memainkan peranan yang cukup penting bagi kehidupan dewasa ini. Hegemoni kerajaan pada saat itu adalah suatu keharusan, dan titah raja adalah takdir hidup rakyat di bawahnya.

Dalam beberapa referensi pada massa ini terkenal dengan istilah kawulo, (rakyat jelata), dimana seluruh kehidupannya digenggam oleh satu tangan. Istilah kawulo mungkin akan mewakili apa yang kita sebut saat sekarang sebagai masyarakat yang tidak mampu. Mitos-mitos yang muncul lewat hikayat, babat, ramalan mengukuhkan perbedaan “nilai dan harga” manusia dan sebagainya masih subur dan dipegang teguh oleh beberapa masyarakat saat ini, tentu saja yang paling merasakan itu adalah masyarakat di tanah jawa sebagai bekas dari basis kerajaan Hindu dan Budha yang kuat pada masa itu. apakah itu tentang kelahiran, rezeki, kematian, keberuntungan, hari baik dan sebagainya.

Pada masa itu, penaklukan-penaklukan terhadap suatu tempat sangat marak, masih berlaku sangat kental hukum alam “siapa yang kuat akan berkuasa, dan siapa yang lemah akan tertindas”, dan sangat jarang sekali kita temukan kawulo mendapat tempat dan hak yang baik akibat berbagai macam ekspansi itu. hal ini melahirkan penghambaan yang berkepanjangan.

Istilah merdeka saat itu mungkin belum popular—mungkin juga arti kata tersebut dulu dan saat ini berbeda jauh. Saat itu kekuasaan lebih identik dengan memerintah, menyuruh, atau juga memaksa. Inilah yang yang melahirkan penindasan dan pengekangan secara turun temurun. Mental-mental manusia yang lahir setelah itupun, atau tepatnya pada saat kolonialis melanda Indonesia masih terasa kental—inilah rakyat yang kita sebut sebagai wong cilik. Karena kebanyakan rakyat terdidik dan terpatri harus patuh pada sang pemegang kekuasaan. kekuasaan ratu Wilhemnia, yang berada jauh di Benua Eropa sampai dirasakan di bangsa besar ini.

Kedua babakan sejarah itu tak jauh dari kepentingan ekonomi, politik, agama, dan bisa dilihat bahwa tak ada hal yang begitu jauh berubah—kecuali siapa yang sedang berkuasa. Sampai pada akhirnya kemunculan status kemerdekaan yang didamba-dambakan pada tahun 1945. Setelah masyarakat ini berubah statusnya menjadi warga Negara, ada semacam harapan yang mulai tumbuh—harapan untuk tidak mengulangi keadaan masyarakat pada saat Indonesia belum merdeka. Pancasila muncul sebagai dasar, dan demokrasi muncul sebagai cara mengangkat harapan itu ke tataran realitas.

Sebagaimana besarnya arti kemerdekaan itu, harapan juga muncul dengan berbagai macam bentuk idealnya. Baik secara komunal maupun secara individu. Sayangnya, hal tersebut tidak sebanding dengan kenyataan. Kemerdekaan yang selama ini kita maknai adalah kemerdekaan bangsa dan Negara. Walaupun dalam teori kemerdekaan, keberadaan warga Negara/masyarakat merupakan syarat utama dalam mencapai status itu, selain adanya wilayah dan pengakuan Negara lain. Kita tertipu selebrasi yang dilaksanakan tiap tahunnya. Kita memperingati kemerdekaan bangsa, Negara atau nasional yang kita dapat dari bangsa lain, bukan berarti sudah merdeka untuk mengatur Negara sendiri.

Dengan sistem demokrasi perwakilan yang selama ini kita anut, hal tersebut kurang berjalan sebagaimana mestinya. Idealnya, perwakilan yang ada dalam kerangka protokoler pemerintahan merupakan representatif dari kemerdekaan warga Negara yang telah memilihnya. Apalagi selama ini kita lebih banyak menemukan perangkat pemerintah yang belum merdeka—membawa kepentingan pribadi, atau pesanan kelompok tertentu atau juga dari bangsa lain. Tidak heran diawal tahun 90an kita sudah mengenal istilah perang pemikiran. Tanggung jawab atas status warga Negara yang telah kita dapat membutuhkan topangan kecerdasan.

Kemerdekaan adalah Kesadaran

Pintu sudah terbuka dan jalan sudah terlihat jelas, mungkin itu ungkapan yang cocok untuk Negara-negara yang sudah mendapat status kemerdekaan. Sadar karena tidak ingin ditindas lagi, tidak ingin diteror, tidak ingin dijadikan pekerja paksa tanpa digaji yang menjadikan pintu (kemerdekaan) harapan direbut. Selanjutnya kemerdekaan ini memberikan persyaratan agar tetap dipertahankan, entah itu manusia yang semakin cerdas, manusia kreatif, manusia yang menghargai sejarah, manusia yang membina budaya maupun adat dan lain-lain. Ternyata mendapat gelar kemerdekaan itu membawa tantangan yang lebih besar pada masyarakatnya. Selama masyarakat tidak memperbaiki nilai ataupun kualitas hidupnya, secara otomatis ia menutup kembali kemerdekaannya dan semakin lama akan menutup kemerdekaan bangsanya.

Saya rasa tidak ada masyarakat Indonesia yang tidak sadar akan kemerdekaan bangsa yang telah diperoleh. Semua akan mengiyakan hal tersebut, itu secara teoritis. Titik tolak dari kesadaran adalah manusia dan munculnya kesadaran bangsa adalah akumulasi dari kesadaran-kesadaran individu di dalamnya, ini sesuai dengan salah satu hikmah yang bisa kita petik dalam ajaran agama, salah satunya dalam Islam, bahwa ”Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali mereka sendiri yang merubahnya”. Manusia sebagai subjek yang dinamis. Selanjutnya adalah apakah manusia di Indonesia sudah sadar bahwa secara individu bahwa mereka sudah mendapat kemerdekaan sehingga bisa dengan percaya diri berkata bahwa bangsa ini telah merdeka?

Membina Kemerdekaan

Terminologi membina kemerdekaan mungkin jarang kita dengarkan, sekiranya inilah yang cocok untuk memberikan embel-embel pada frase perjuangan mengisi kemerdekaan. Mungkin kita akan bertanya-tanya, untuk apa kemerdekaan itu kita bina, sedang kemerdekaan sendiri sudah didapatkan? Sesuai yang saya tuliskan di atas, bahwa kemerdekaan adalah suatu kesadaran—makan membina kemerdekaan adalah usaha-usaha untuk mengarahkan masyarakat Indonesia menjadi merdeka—menjadi individu yang merdeka.

Sebagaimana pernyataan umum yang sering kita dengar bahwa, “mempertahankan lebih susah dibanding dengan mendapatkan”, sangat nyata dikehidupan kita sehari-hari. Sebagai contoh, mempertahankan dominasi kita pada olahraga bulutangkis di dunia lebih sulit dibanding dengan Negara-negara lain merebutnya, ini terbukti beberapa tahun belakangan—untungnya saat ini hal tersebut mulai bangkit kembali. Negara-negara yang kalah dalam setiap pertandingan akan memiliki motifasi tinggi dan cara kreatif untuk dapat memenangkan pertandingan berikutnya, hal ini terjadi karena Negara yang kalah akan lebih banyak melihat kekurangan dari yang harus dikoreksi dari pada melihat kelebihanya. Sedang yang menang akan mudah terjerumus pada kebanggan yang terlalu dibuat-buat.

Inilah sekiranya yang bisa kita lihat di negara Indonesia, status kemerdekaan diibaratkan sebagai kemenangan—sebagian besar kita hanya melihat begitu gagah beraninya pejuang-pejuang dahulu untuk meraih kemerdekaan, ketangkasanya, ketahananya dan pengorbananya. Kita menikmati sejarah itu. Tanpa kita sadari bahwa Negara lain sudah lama memikirkan, bagaimana merebut kembali apa yang dahulunya pernah mereka kecap. Seperti yang sering dikoar-koarkan bangsa eropa tentang gold, glory dan gospel, hal itu pula yang akan menjadi incaran di Negara ini. Selayaknya yang disampaikan oleh pejabat-pejabat bangsa ini ketika manusia-manusia Indonesia mendapatkan prestasi internasional maka akan terlontar pula frase yang gampang sekali diucapkan “pertahankan prestasimu”.

Saya rasa kita semua setuju dengan perkataan tersebut, sehingga menimbulkan rasa kebanggaan tersendiri, dan makna terpenting dibalik kata-kata itu tentunya kita masyarakat Indonesia dituntut untuk lebih pintar, lebih cerdas, lebih telaten dan sebagainya—karena tidak mungkin kualitas permainan Negara lain akan sama ketika pertandingan selanjutnya, merekapun akan lebih cerdas. Begitupun tentang kemerdekaan, akan meniscayakan peningkatan kualitas manusia-manusia Indonesia untuk bisa mempertahankan kemerdekaan. Jelas analogi yang mudah. Hal ini pulalah yang memunculkan istilah membina kemerdekaan, walau seringkali kata membina dari mulut-mulut pejabat yang kita lihat di media massa dan elektronik sering bernuansa paradoks. Membina yang selama ini terjadi adalah menyerahkan seluruh usaha peningkatan kualitas tersebut pada seseorang atau sekelompok orang tanpa diberikan binaan itu sendiri.

Bersambung

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun