Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Link-Isme (Bagian 1)

21 Mei 2012   11:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:01 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya teringat narasi simple yang ada pada sebuah film Indonesia, ceritanya tentang cinta tapi pembicaraan yang ada di dalamnya tentang kondisi real tentang segala aspek dan tatanan pembentuk hidup manusia Indonesia saat ini. Skenario atau improvisasi, kata-katanya seperti ini “ini dunia kerja, relasi dan sedikit keberuntungan itu yang perlu, IP buat orang yang tidak punya keduanya”. Secara sederhana ini memanglah betul adanya, di saat manusia itu sendiri ditakdirkan menjadi makhluk sosial (hablum minannas)—bersamaan pula di Negara ini muncul isu yang melihat posisi, strata, citra seseorang bukan lagi karena manusia tersebut unggul dan punya potensi—semua ini hanya karena faktor keturunan, anak pejabat siapa, punya kolega berapa banyak di pemerintah, siapa nama orang tuanya.

Beberapa orang, bahkan mungkin seluruh masyarakat Indonesia sudah tahu tentang gosip yang menjadi rahasia publik ini, karena termakan oleh kebiasaan dan sudah menjadi budaya di setiap sisi hidup, hal ini tidak menjadi sorotan dalam setiap kampanye-kampanye yang berbau penegakan kejujuran dan keadilan terhadap suatu masalah. Mulai dari masalah yang paling dasar, pendidikan maupun kesehatan—jangan lagi berbicara ekonomi, politik, hukum dan HAM, jelas sudah menjadi senjata andalan untuk mempertahankan supremasi dan hegemoni untuk suatu cita-cita serakah manusia—memonopoli.

Kalau Saja Semua Keterunan Nabi Adam AS

Saya hanya berpikir bahwa adanya gejala sosial yang katanya berimbas negative ini, dimulai dari pemikiran bahwa, semua makhluk di dunia ini berdasarkan satu bapak dan satu orang tua, tentu sangat sederhana kita bisa mengatakan bahwa, seluruh manusia yang ada di Indonesia dan dunia ini saling berkeluarga, saling punya kasih dan sayang antara sesama. Begitupun dengan pembagian jatah jabatan, kocek, usaha maupun hal-hal yang menjadi dasar untuk keberlangsungan umat manusia. Tentunya akan dilakukan berdasarkan keadalian link-isme tersebut—orang yang punya jabatan tinggi, mempromosikan keluarganya yang lain yang kurang mampu untuk dapat sekolah dan berpendidikan, orang yang punya banyak rupiah akan memberikan duit penutup mulut pada seluruh makhluk yang namanya manusia, orang yang memiliki ilmu dan prestasi yang melimpah akan menafkahkan hasil-hasil pemikirannya untuk kesejahteraan keluarga manusianya yang lain—betapa indahnya hidup, satu manusia menipu, semua ikutan menipu, satu manusia yang benar, semua menjadi benar.

Sebetulnya keadaan sekarang kurang dan lebihnya menandakan bahwa orang di Indonesia sudah berpikiran kalau semua manusia itu berkeluarga—punya keluarga masing-masing. Punya keluarga konglomerat, punya keluarga pengusaha, punya keluarga pemerintahan, punya keluarga kedokteran, punya keluarga miskin, punya keluarga sakit-sakitan. Semuanya menjadi tergolong dalam banyak keluarga masing-masing, bahkan tidak mau memberikan predikat keluarganya tersebut pada orang lain tanpa sedikit “suap”. Akhirnya yang miskin tetaplah miskin, kaya tetaplah kaya dan terpenting adalah yang menjadi keluarga korup tetap mau mempertahankan tahtanya jadi keluarga korup. Walaupun seperti ini patutlah berbangga kita pada bangsa besar ini sebagai Bhineka Tunggal Ika, setidaknya masih punya keluarga masing-masing.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun