Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menggugat Mimpi Si Bahagia

27 Mei 2015   20:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:32 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebanyak ceritra derita, kelaparan, kekecewaan, penindasan dan pahitnya berjalan, sebanyak itu pula arti yang akan muncul dari suatu kebahagian, kata seorang bijak. Orang pandai-pandai mengartikan bahagia sejauh pengalaman—semakin banyak pengalaman semakin serakah pula ia akan kebahagiaan. Oh hidup yang tak berkecukupan, apa yang masih engkau sembunyikan, berupa kejutan atau kekalahan.

Engkau tahu akhir-akhir ini? orang yang pernah berimpikan keadilan mundur menjadi hanya mencukupi kebutuhan piring makanan. Manusia yang punya cita membangun usahanya minder dibataskan aturan. Si anu yang berpikir bisa sekolahkan anaknya harus terima kenyataan, kalau ia hanya mampu untuk memberinya makan. Yang ingin menjadikan negaranya maju berkembang mengkerut keningnya karena tak tahan permainan segelintir orang. Atau ada juga yang bahagia karena tertawa barang sebentar, selanjutnya hati diisi dengan kebosanan. Oh sungguh acuan bahagianya sudah surut sejauh horizon pandangan.

Adalagi manusia yang awalnya bicara tentang menjadi dan terus menjadi. Kini mereka cukupkan saja dengan berkata “hanya bisa” dan “cuman itu”. Bahagianya juga sudah jatuh ke tanah tempatnya berpijak.

Begitu banyak bentuk dan harapan bahagia, sampai bahagia itu sendiri di potong-potong, di cacah tak punya bentuk sempurna. Tak ada lagi yang punya kebahagiaan sesuai kerinduan awalnya. Semua-semua menyesuaikan kondisi dan waktu, mengikuti pola acak yang dibuat penguasa.

Bagaimana kelak ada kemajuan kalau bahagiapun sudah terkotak dalam satu kepala, satu keluarga. Terputus pikiran dengan hal-hal yang lebih besar, atau kita berpikir untuk menyandarkan angan dan cita si kecil yang belum berpengalaman, dan kemudian ia mengulang kejadian, menghapus cita besar karena menghadap pada kenyataan yang tak menguntungkan?

Kalau itulah maksudnya seorang dewasa dan tua, tentu percumalah ditanamkan tentang pelajaran eksak dan teori, bahwa yang punya kuasa mencipta bukanlah manusia, jin dan setan. Percuma jua kita sadar bahwa disanalah bahagia yang paling kekal, disanalah tujuan sempurnanya bahagia.

Sungguh tak ada yang lebih baik dari yang berbahagia, karena ialah tak menuntut syarat pasti. Ia mencakup keseluruhan, merangkum semua angan menjadi kenyataan. Dimana lagi suraumu oh sang bahagia?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun