Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lawan Logika Usang

12 Maret 2014   16:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:01 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada tiga hal yang masih segar di ingatan, pertama adalah rencana presiden Indonesia pertama untuk memindahkan ibukota Negara Indonesia ke Kalimantan. Kedua adalah jalannya pembangunan pada saat orde baru yang berkisar pada Kota Besar, dan ketiga tentang reformasi yang diagungkan sampai menelurkan desentralisasi untuk pemerataan pembangunan. Dari ketiga hal ini tentu dapat dilihat pada kondisi kontemporer, dimana hanya pengulangan orba secara tak tersuratlah yang paling sering kita temui, dan tentu saja ibu kota DKI Jakarta dan pulau Jawa lah yang selama ini menjadi pusat dari seluruh paradigma pembangunan, hidup bersamaan dengan berbagai kesenjangan sosial maupun ekonomi, hidup pula bersama gengsi-gengsi manusia yang muncul di tempat ini.

Ingat dengan yang dikatakan oleh Pramoedya, bahwa pada saat orde baru berkuasa, potensi dan keunggulan di berbagai daerah di Indonesia diambil dan dibawa ke Jawa, sedang masyarakatnya dijadikan pesakitan, dan dipaksa untuk menjadi manusia-manusia miskin di Ibukota. Bukankah ini masih terjadi sampai detik ini?!

Ya, masuk pada awal tahun yang penuh dengan harapan, mental-mental dan logika yang sudah lama berjalan tetap nampak. Mental jawa sentris dan logika usang masih saja awet dalam otak birokrat dan masyarakat, dan Ibu kota Jakarta lah yang jadi peran utama. Coba kita lihat berapa banyak duit yang harus diperuntukkan untuk membangun giant sea wallnya Jakarta, sangat luar biasa sampai menyentuh ratusan triliun, jalan tol baru yang ingin dibikin DKI Jakartapun sudah mulai mendapat restu dari sang empunya. Sebelum itupun sudah mulai santer tentang pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS), yang membutuhkan biaya ratusan triliun pula. Muncul pula rencana pembangunan jalan tol di atas laut dari Jakarta sampai Surabaya, muncul pula rencana untuk membikin kereta cepat di Jawa seperti kereta-kereta di Jepang. Begitulah hasilnya kalau pemerintah ini bermental korup, begitu pula awetnya logika usang yang memaksa manusia Indonesia untuk migrasi secara besar-besaran kemudian ditelantarkan, setelah itu mereka beramai muka untuk hasilkan solusi mengatasi kemacetan, kemiskinan, banjir atau juga kepadatan.

Dari zaman orde baru hal ini tentu sudah diprediksikan, tidak sedikit tulisan dan artikel tentang imbas dari sentralnya pembangunan di Indonesia. Kajian-kajian itu hanya muncul sebagai presentasi ilmiah dan publikasi sementara, selanjutnya hanya muncul berita politik. Bagaimana mungkin kita ingin berdikari di bidang pertanian dan perternakan, kalau perhatian pada sumbernya tak ditekankan. Kalimat yang senada dilontarkan oleh Mr. Gita Wirjawan dan Mr. Dahlan Iskan bahwa Indonesia pada tahun 2013 tidak mengimpor beras jadi layu karena awal tahun ini di DKI Jakarta sudah beredar beras-beras yang berasal dari Negara lain. Apalagi tentang daging-dagingan yang terkenal dengan daya impor tinggi dan sering jadi source untuk korupsi—pada triwulan pertama tahun ini pemerintah sudah mengimpor ratusan ribu sapi (setengah dari kebutuhan daging di Indonesia berada pada lingkaran impor). Ini juga adalah imbas dari mental dan logika usang tersebut.

Terwujudnya ketahanan pangan apalagi energy, tentu masih sangat jauh dimata dan dekat dikhayalan. Yang sedang kita genggam saat ini adalah korupsi—dan jelas inilah hal utama yang dijadikan kambing hitam keterpurukan Indonesia. Penuntasan ini pula hanya berputar pada lingkungan verbal semata, tidak ada penindakan yang jelas kecuali pada orang yang tak punya kuasa, duit atau dekengan. Terkadang manusia Indonesia harus dihadapakan pada penuntasan korupsi dari akar—setalahnya mimpi indah tentang Indonesia kembali terang dan dapat dijangkau. Padahal disisi lain, orang berseragam safari yang punya kuasa sebagai wakil masyarakat dan penentu kebijakan bekerja asal hidup asal bertahan, tipe manusia inilah yang harus dicambuk. Bukankah yang bikin rencana memindahkan ibukota adalah presiden, juga yang bikin aturan supaya pejabat Negara agar melepas segala atribut kepartaiannya adalah orang besar negeri ini—supaya fokus ngurus Negara, bukankah kumpulan orang-orang di senayan adalah kompilasi dari seluruh masalah yang ada di seluruh penjuru negeri, mereka juga adalah orang besar karena memikul kumpulan masalah. Pada dasarnya kepada mereka kita menancapkan harapan untuk membikin kebijkan besar pula. Membikin logika usang kembali segar, kalau kata iklan, mencegah lebih baik dari mengobati. Salah satunya adalah Memaksa masyarakat yang sudah padat di suatu tempat ini agar bermigrasi, agar memindahkan paradigma juga persepsinya untuk hidup dan menghidupi tempat-tempat potensi diseluruh Indonesia sebagai salah satu bentuk dari asa reformasi yang sampai sekarang lebih banyak memainkan perannya pada bidang jurnalistik, media dan informasi.

Menghitung jumlah rupiah yang akan dikeluarkan pada berbagai mega proyek ambisius berparadigma jawa sentris, bisa kita alokasikan untuk kemandirian beberapa daerah terbelakang di Indonesia. Bukan hanya tentang masalah pangan yang akan berimbas baik, tapi transportasi dan ekonomi akan berkembang baik. Tentu dengan memaksa masyarakat ini bukanlah berpengertian mengancam atau menakut-nakuti—memaksa ini berarti menyediakan katalis atau fasilitas atau lapangan pekerjaan atau bantuan intensif konsisten dan terpenting membuat mega proyek pada daerah-daerah yang terbilang terbelakang. Daerah-daerah yang tak pernah punya gaung karena mega proyek dan kebijkan berani inilah yang harus direncana serta dilakukan. Tidak lain, peluang untuk hal ini terbuka kembali pada pertengahan tahun 2014. Dan itu menjadi salah satu kepentingan kita untuk menentukan pemenang—terutama yang akan menjadi manusia nomor satu diNegara ini. Indonesia sebagai Negara maritim dan agraris seharusnya bukan hanya jadi simbol geografis.

Adalah kebohongan dan bukan dinamakan calon pemimpin kalau tak berjanji

Karena itu mintalah janjinya yang sebesar-besarnya

Bukan lagi janji tuntaskan korupsi dan kemiskinan

Karena sudah dimakan tanah dan rupiah

Bukan juga berias muka di media dan berjalan ke pasar

Karena kami sudah bertambar pintar

Mintalah janji program dan kebijakan besar

Yang jadikan adil dan makmur

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun