Mohon tunggu...
Muhammad Ibrahim Hamdani
Muhammad Ibrahim Hamdani Mohon Tunggu... -

Nama: Muhammad Ibrahim Hamdani Tempat Lahir: Palembang Pendidikan: Strata 1, Ilmu Politik FISIP UI

Selanjutnya

Tutup

Politik

Krisis Ekonomi di Suriah dan Geopolitik Internasional

18 Juli 2012   03:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:50 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KRISIS EKONOMI DI SURIAH DAN GEO-POLITIK INTERNASIONAL

Pergolakan politik yang terjadi di Suriah selama lebih dari satu tahun terakhir ini telah melemahkan perekonomian Suriah dan menimbulkan ketegangan politik internasional, terutama di wilayah Timur-Tengah. Beberapa negara Teluk telah menarik duta besarnya dari Damaskus dengan beberapa alasan seperti situasi keamanan yang tidak kondusif, pergolakan politik berdarah, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) hingga tragedi kemanusiaan. Negara-negara sekutu Suriah seperti Iran, Rusia dan China pun turut aktif meminta diadakannya gencatan senjata dan menuntut pemerintah Suriah untuk menghentikan tindakan represif terhadap faksi-faksi oposisi Suriah.

Hubungan Suriah dengan Negara-Negara Arab Teluk (Gulf Countries Cooperation/ GCC) sedang mengalami keterpurukan dan berada di titik nadir yang ditandai dengan penutupan kantor Kedutaan Besar sejumlah negara anggota GCC di Damaskus. Rabu lalu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Saudi Arabia memutuskan untuk menutup kantor kedutaan besarnya di Damaskus serta memulangkan semua diplomat dan karyawan kedutaannya. Hal serupa juga dilakukan oleh Uni Emirat Arab, Oman, Kuwait, Qatar, dan Bahrain.[1]

Aktivitas perdagangan internasional antara Suriah dengan Turki, Jordania, dan Lebanon pun terhenti akibat situasi keamanan yang tidak kondusif, sehingga ekspor minyak Suriah yang sejak tahun 2005 memproduksi sekitar 425.000 barrel per hari juga praktis mengalami kemacetan. Dampak buruk lainnya adalah terus merosotnya kurs lira (mata uang Suriah) terhadap dollar Amerika Serikat (AS), pekan ini nilai 1 dollar AS mencapai 100 lira padahal dua pekan yang lalu nilai 1 dollar AS mencapai 75 lira. Bahkan jika dibandingkan dengan tahun 2011, nilai 1 dollar AS mencapai sekitar 40 lira sehingga terjadi penurunan nilai yang cukup drastis dari kurs lira terhadap dollar AS.[2]

Turunnya nilai mata uang lira hingga lebih dari 50 persen, jika dibandingkan dengan tahun 2011, merupakan dampak dari sanksi-sanski ekonomi yang diberikan oleh Liga Arab, Uni Eropa, dan Amerika Serikat terhadap Suriah sehingga membuat perekonomian negara itu melemah. Dampak ekonomi lainnya adalah cadangan devisa Suriah yang menurun drastis dari sekitar 17 miliar dollar AS, perkiraan tengah tahun 2011, menjadi hanya setengah miliar dollar AS (pada tahun 2012), serta Inflasi yang terus meningkat sehingga barang-barang impor menjadi lebih mahal. Selain itu Sektor pariwisata Suriah mengalami kerugian 1 miliar dollar AS, dan berhentinya arus masuk investasi asing ke Suriah, terutama dari negara-negara GCC, yang telah merambah ke berbagai sektor.[3]

Pergolakan politik yang terjadi di Suriah selama satu tahun terakhir ini telah menyebabkan situasi keamanan yang tidak kondusif, pemberian sanksi ekonomi internasional, dan ketegangan hubungan diplomatik yang mengakibatkan perekonomian Suriah jatuh ke titik terendah dalam beberapa dekade terakhir ini. Hal ini ditandai dengan menurunnya kurs mata uang lira, meningkatnya inflasi, terhenti totalnya arus investasi asing, aktivitas perdagangan internasional (terutama minyak) yang terhenti, dan meningkatnya harga barang impor, serta sektor pariwisata yang mengalami kerugian.

Akibat krisis ekonomi tersebut rakyat Suriah dilanda kepanikan luar biasa yang ditandai dengan perilaku panic buying. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya warga Suriah menggunakan mata uang lira untuk membeli barang apa saja karena khawatir kurs lira semakin merosot sehingga daya beli lira pun ikut merosot tajam. Tingkat kemiskinan juga semakin meningkat dengan tidak dinaikkannya gaji pegawai negeri dan swasta untuk menghadapi kenaikan tingkat inflasi. Meskipun situasi perekonomian mulai menampakkan tanda-tanda krisis, Presiden Bashar Al-Assad masih dapat bertahan di kursi kekuasaannya.

Menanggapi semakin kacaunya situasi sosial - politik di Suriah, yang diikuti dengan tidak kondusifnya kondisi keamanan Suriah, sejumlah negara pun mulai melakukan beberapa langkah diplomatik untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap masyarakat Suriah. Pada hari Selasa, 13 Maret 2012, Asisten Menteri Luar Negeri (Menlu) Cina yang juga utusan khusus pemerintah Cina, Zhang Ming, mengadakan pembicaraan di Kairo dengan Ketua Liga Arab, Nabil al-Arabi, mengenai masalah-masalah Suriah dan regional lainnya. Dalam pembicaraan tersebut, Zhang mengatakan bahwa kedua belah pihak bertukar pandangan mengenai solusi politik atas krisis Suriah berdasarkan enam poin pernyataan Cina. "Cina dan Liga Arab memiliki konsensus yang luas pada krisis Suriah," kata Zhang, seperti diberitakan Xinhua dan dipantau Antara, Rabu (14/3).[4]

Menurut Juru Bicara Kemenlu Cina, Liu Wei-Min, terdapat 6 butir pernyataan Cina yang dimaksudkan untuk lebih memperkuat komunikasi dan negosiasi dengan pihak terkait mengenai resolusi politik untuk masalah Suriah. Keenam pernyataan tersebut, adalah: 1. Menyerukan untuk menghentikan semua tindak kekerasan; 2. Meluncurkan dialog politik inklusif; 3. Mendukung upaya bantuan kemanusiaan; 4. Menghormati kedaulatan Suriah; 5. Menyambut penunjukan utusan khusus bersama atas krisis Suriah oleh Perserikaan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Liga Arab; dan 6. Memastikan bahwa anggota Dewan Keamanan (DK) PBB mematuhi tujuan dan prinsip Piagam PBB serta norma-norma dasar yang mengatur hubungan internasional.[5]

Senada dengan Cina, Rusia juga mengutuk tindakan beberapa negara Barat yang mendesak perubahan rezim di Suriah. Menlu Rusia, Sergei Lavrov, mengutuk upaya negara-negara Barat yang mendesak perubahan rezim di Suriah dengan cara menghasut masyarakat internasional dan memanipulasi DK PBB. “Kesimpulan tidak akan  dapat tercapai pada Suriah jika menghasut komunitas internasional, dan penyelesaian yang stabil dapat dicapai hanya melalui dialog antara pemerintah dan oposisi ,”kata Sergei Lavrov, Senin (12/3). Menlu Rusia itu juga menolak intervensi militer terhadap Suriah dan mengatakan bahwa setiap campur tangan asing justru akan membahayakan stabilitas regional.[6]

Vitalnya peran strategis dan geo-politik Suriah bagi kepentingan luar negeri Cina dan Rusia telah membuat kedua negara bersikap tegas menolak intervensi asing, terutama negara-negara barat, untuk menjatuhkan rezim Presiden Bashar Al-Assad. Bahkan kedua negara sempat mem-veto rancangan resolusi DK PBB yang dirancang oleh AS dan Inggris terkait dengan rencana sanksi-sanksi terhadap Suriah jika Presiden Assad tidak mampu mengendalikan situasi keamanan di negaranya. Namun Rusia dan Cina di saat yang bersamaan juga menghimbau dilaksanakannya gencatan senjata, proses negosiasi damai, dan penyelesaian politik antara Presiden Assad dengan faksi-faksi oposisi Suriah.

[1] “Ekonomi Suriah Kian Lemah, Negara-negara Tetangga di Teluk Arab Menutup Kedubes,” Kompas, 17 Maret 2012, Hal. 8.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] “Bahas Suriah, Utusan Cina Bertemu Ketua Liga Arab,” Rabu, 14 Maret 2012, 07:04 WIB, http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/03/14/m0uliw-bahas-suriah-utusan-cina-bertemu-ketua-liga-arab

[5] Ibid.

[6] “Lavrov Kutuk Barat yang Desak Perubahan Rezim Suriah,” Rabu, 14 Maret 2012, 07:04 WIB, http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/12/03/13/m0sro9-lavrov-kutuk-barat-yang-desak-perubahan-rezim-suriah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun