Mohon tunggu...
Muhammad Husni
Muhammad Husni Mohon Tunggu... Penulis - MH Rasid

Seorang Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Apa Kabar Pilkada Serentak Hari Ini?

6 Desember 2020   03:11 Diperbarui: 6 Desember 2020   03:16 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kira-kira sudah berlalu 7 purnama sejak pertama kali diumumkannya dua warga Depok, Jawa Barat terindeks positif virus corona (covid-19) (CNN, 2020). Untuk beradaptasi dengan keadaan ini kebijakan kuncitara (lockdown) diberlakukan oleh beberapa wilayah, akan tetapi dampak yang hadir setelahnya benar-benar mengubah bagaimana cara kita menjalani keseharian. Dunia ini menjelma novel beralur distopia yang mana diisi oleh “masyarakat 1.5 meter” di sana-sini.

Dampak yang terjadi dari pandemi ini berlaku pada beberapa bidang yaitu ketenagakerjaan, pariwisata, psikologis, dan lain-lain. Beberapa profesi diwajibkan untuk melaksanakan pekerjaannya dengan metode bekerja dari rumah (work from home), ruang-ruang kelas mulai dari tingkat sekolah hingga perguruan tinggi ditutup hingga waktu yang tidak ditentukan, serta limitasi kapasitas penumpang dalam kendaraan umum─adalah sekelibat dari dampak yang terlihat dari wabah ini (Afrianto, 2020).

Ada satu adagium yang agaknya dapat menggelitik kewarasan kita semua saat ini yaitu “corona bisa menghentikan segalanya di Indonesia, kecuali rasa haus kuasa.”

Masih lekat dalam ingatan kita bahwa dalam dua bulan terakhir telah berkali-kali aksi tolak omnibus law─atau saat ini, UU Cipta Kerja, dilaksanakan tanpa sekalipun digubris dengan pantas oleh pemerintah yang seyogyanya selalu memasang telinga untuk rakyatnya (Detik, 2020). Hingga kemarin, pemerintah melakukan blunder kembali dengan menaikan pembahasan mengenai RUU Larangan Minol yang tidak jelas urgensinya (Lavenia, 2020), apakah dalam pandangan pemerintah rakyat tak ubahnya anak kecil yang melulu harus diatur?

Tidak lupa larangan akan pelaksanaan demonstrasi-demonstrasi tersebut oleh Polda Metro Jaya karena dinilai mengkhawatirkan dan dapat meningkatkan penyebaran covid-19. “Kita mengharapkan tidak usah turun. Tidak usah berkumpul ramai-ramai dan mari kita taati aturan peraturan kesehatan yang ada. Salah satunya adalah menghindari kerumunan karena ini bisa membuat klaster baru lagi nantinya,” ucap Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus (Kompas TV, 2020).

Masih di sisi yang sama, pasca menemukan keterlibatan pelajar dalam aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Sebab dinilai pelajar belumlah layak untuk terlibat demonstrasi, Pejabat Sementara (Pjs) Wali Kota Depok, Dedi Supandi berkoordinasi dengan Polres Metro Depok untuk menindak pelajar-pelajar tersebut. Dia mengaku selain mendapatkan hukuman sanksi drop out (DO), atau dikeluarkan dari sekolah pelajar-pelajar tersebut, mereka tidak akan mendapatkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) (Wardhana, 2020).

Saya bukanlah seorang filsuf yang bisa menangkap nilai dari sesuatu yang abstrak seperti ini, saya hanya seorang mahasiswa sejarah biasa. Akan tetapi dengan keyakinan saya katakan jika bangku pemerintahan saat ini kebanyakan diisi oleh orang-orang haus kuasa yang memiliki telinga sebagai pajangan saja! Bulan ini, tepatnya pada tanggal 9 Desember 2020, beberapa wilayah di Indonesia akan melaksanakan Pilkada di tengah carut-marutnya masyarakat yang berada di bawah tekanan wabah covid-19 (CNN, 2020).

Kira-kira ada sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 237 Kota melaksanakan Pilkada serentak tahun 2020. Untuk mendukung terlaksananya hal ini, berbagai manuver dilakukan di antaranya menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 yang mengatur pelarangan kampanye konvensional (JDIH KPU, 2020). Walau begitu, peluang untuk dilanggarnya peraturan ini sangatlah besar dan dalam waktu singkat saja terbukti bahwa peraturan ini tidak dapat dipatuhi oleh para pemegang kepentingan terkait.

Berdasarkan laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ada 243 bakal pasangan calon kepala daerah yang diduga melanggar protokol kesehatan pencegahan penularan covid-19. Temuan dugaan pelanggaran tersebut terjadi pada masa pendaftaran calon Pilkada 2020 tanggal 4 sampai 6 September lalu. Kemendagri juga sudah menegur beberapa kepala daerah karena menyebabkan kerumunan massa dan arak-arakan yang tidak memperhatikan protokol kesehatan covid-19 saat melakukan deklarasi bakal pasangan calon (Paslon) kepala daerah (Rezki, 2020).

Berbanding terbalik dengan sanksi yang dialami pelajar-pelajar yang disinyalir terlibat unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Sanksi yang diberikan kepada Paslon dinilai tidak memberikan efek jera dan dinilai terlalu ringan sebab hanya berupa teguran tertulis dan penghentian kampanye Paslon. “Paslon tidak merasa takut dengan sanksi teguran atau penghentian kegiatan kampanye. Mereka terlihat lebih siap menerima sanksi teguran daripada membatasi kegiatan kampanye,” ucap Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati (Wardi, 2020).

Mengetahui bahwa dua hal yang seirama dalam payung “perkumpulan massa berskala besar” dan “pelanggaran protokol kesehatan covid-19” mendapatkan tanggapan serta perlakuan yang berbeda, saya hanya bisa tersenyum kecut. Pemerintah sudah terlalu nekat─atau bahkan tidak memiliki hati?─sebab memutuskan suatu kebijakan tanpa memperhitungkan dampak aspek kesehatan masyarakat. Gelaran Pilkada 2020 di tengah penyebaran covid-19 yang kian masif sangat mengkhawatirkan (Satgas covid-19, 2020). Waras dan sebaiknya Pilkada 2020 ditunda lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun