Mohon tunggu...
Hasim Arfah
Hasim Arfah Mohon Tunggu... Administrasi - jurnalis

saya adalah mantan aktivis persma di UNM. Jurnalis Tribun Timur. Tertarik pada aktivitas membaca, menulis dan berdiskusi. Kunjungi Blog saya hasimarfah.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Swasembada Pertanian dan Kemajuan Teknologi

13 Januari 2014   23:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:51 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemiskinan masih saja menggerogoti Indonesia bahkan makin menjungkalkan rakyat ke lembah kemiskinan. Belum lagi ledakan jumlah penduduk yang makin tak terkendali. Maka kemiskinan semakin holistik. Bank dunia menyatakan kemiskinan di dunia karena laju inflasi yang semakin signifikan. Tahun 2012, penduduk miskin di pedesaan 5,08 persen lebih tinggi ketimbang inflasi nasional yakni sebanyak 4,3 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang menjangkau 6,0 persen ternyata hanya dinikmati oleh kalangan menengah dan atas. Itupun mereka berada di sektor jasa bukan riil. Maka tak jarang harga distribusi, administrasi dan jasa lainnya lebih tinggi ketimbang harga barangnya. Harga di pusat barang tak sama dengan harga di pasar. Hal ini karena biaya jasa sangat tinggi. Bandingkan saja harga duren di Palopo dan Makassar bisa lima kali karena besarnya biaya administrasi dan ongkos distribusi.

Sektor pertanian yang menjadi modal utama swasembada sangat tak diperhatikan. Daerah potensial tak mendapat porsi dan perhatian pemimpin. Pemimpin daerah hanya fokus kepada sektor jasa seperti pajak dan komisi pengerukan tambang. Mestinya pemerintah memberikan perhatian penuh pada petani dan nelayan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menyediakan pelatihan. Pemerintah membuka investasi kepada pengusaha yang bisa membangkitkan gairah petani dan nelayan.

Sebagai contoh, Pangkep mempunyai lahan yang bagus untuk nelayan. Namun harga ikan dan hasil empang mereka selalu tak bersaing karena tak ada perusahaan yang dapat membeli dengan harga layak. Selain itu ongkos untuk mengirim ke daerah potensial sangat mahal. Harga ikan pasti akan turun karena sudah tak segar lagi. Selain itu tak ada kebijakan untuk memberikan mereka modal untuk meningkatkan usaha.

Perusahaan yang ingin berinvestasi selalu terkendala dengan biaya lahan dan administrasi yang sangat mahal. Jadi, belum bangun perusahaan sudah ditagih dengan harga “selangit”. Maka tak jarang penambak ikan selalu dalam lingkaran kemiskinan.

Begitupun dengan daerah lainnya. Kalangan petani atau butuh mesti difasilitasi dengan baik supaya sedikit demi sedikit kemiskinan bisa teratasi.

Majukan Teknologi melalui Universitas

Sulawesi Selatan yang didapuk sebagai lumbung beras dan hasil-hasil pertanian terancam tak bisa memberikan “makan” kepada masyarakat Indonesia yang semakin padat. Jika provinsi ini masih dipercaya maka diperlukan teknologi untuk menopang label tersebut.

Rencana pembangunan rel kereta api Makassar- Parepare perlu dipercepat. Pembangunan infrastrukur ini memang belum dibutuhkan saat ini. Namun melihat perkembangan jumlah dan keinginan penduduk, kereta api di Sulsel sangat dibutuhkan 10-15 tahun ke depan.

Selain itu teknologi pertanian dan perikanan di Sulsel perlu direforamsi karena daerah-daerah potensial masih menggunakan teknologi konvensional. Belum lagi pengetahuan mereka sangat terbatas tentang mengelola hasil bumi. Di sinilah tugas pemerintah dan universitas. Universitas secara langsung mempunyai tanggung jawab untuk mencerdaskan masyarakat di sekitarnya.

Selama ini universitas tak mempunyai andil besar dalam memajukan masyarakat. Hal ini terjadi karena proyek yang dibentuk selalu skala makro. Artinya tak menyentuh ke hal-hal teknis dan sederhana buat petani dan nelayan. Selalu saja mengarah ke arah kebijakan pemerintah. Skala mikro selalu terabaikan seperti mengajarkan cara mengolah hasil tani hingga layak jual.

Setiap daerah hanya mencetak sarjana “jago bicara” tapi tak bisa kerja untuk masyarakat. Maka tak jarang sarjana non politik seperti sarjana kesehatan masuk ke ranah politik alias salah jurusan. Yang seyogiyanya bukan domain ilmunya.

Sederhananya ilmu mereka tak bisa digunakan untuk masyarakat. Hal ini disebabkan karena penelitiannya tak bisa dipraktekan di kalangan masyarakat. Mereka juga tak mem-publish hasil ini kepada masyarakat terkait. Maka ide ini hanya akan menjadi “teman” rak-rak buku di perpustakaan.

Intervensi Kebijakan

Sederhanyan pemerintah secara tak langsung telah menyengsarakan rakyat melalui kebijakan yang tak pro. Pemerintah harus tegas dalam mengentaskan kemiskinan. Pemerintah mesti mengintervensi tuan tanah supaya tak membuat aturan sendiri dan membuat harga sendiri. Memecat oknum rugulator yang memainkan harga selangit dan pungli. Menghapus makelar dan menjamin posisi penyewa tanah (baca: buruh).

Ke semua hal diatas diperkuat dengan teknologi dan pendidikan yang merata. Memberikan standar hidup yang layak bagi petani. Karena nafas ekonomi ada pada nelayan dan petani. Dengan begini maka masyarakat akan terlepas dari cengkraman kemiskinan yang turun temurun selama ini. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun