Mohon tunggu...
Muhammad Haafizh Al Khatiiri
Muhammad Haafizh Al Khatiiri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

Stay humble, forever learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Limitasi dari Transparansi Data dan Informasi Pasien COVID-19 beserta Perlindungan Hukum yang Dimilikinya

11 April 2021   16:58 Diperbarui: 11 April 2021   17:18 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Untuk menghadapi situasi di kala pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) yang sedang menyebar dengan skala besar ini sudah pasti membutuhkan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat, walaupun bukti dalam pengambilan keputusan tersebut terbilang masih kurang memadai dan dengan sumber daya yang terbatas pula. 

Observasi dan pengumpulan data secara sistematis menjadi komponen penting dalam mengambil langkah penanganan, baik sebagai arahan dan acuan manajemen penanganan saat ini, maupun pada masa yang akan datang. Jika ditinjau dari Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, salah satu usaha untuk menanggulangi wabah yang perlu utnuk diambil tindakan adalah penyelidikan epidemiologis atau surveilans kesehatan oleh pemerintah. 

Surveilans adalah pengumpulan, pengolahan, analisis data kesehatan dengan sistematis dan terus menerus serta penyebarluasan informasi faktual kepada para stakeholder terkait yang perlu mengetahui informasi tersebut agar mampu diambil tindakan yang efektif.[1] Pemberlakuan surveilans melalui pola kedaruratan terhadap wabah pun diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1116/Menkes/SK/VII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan. 

Meskipun surveilans kesehatan masyarakat adalah hal yang fundamental dan wajib dilakukan pada masa terjadinya wabah penyakit menular, hal tersebut tetap harus diikuti menggunakan pendalaman etik yang baik dan benar. Salah satunya ialah berhubungan dengan pembukaan rahasia medis maupun identitas pasien serta efeknya terhadap stigma dalam masyarakat.[2] 

Pemberian informasi terkait data Pasien Covid-19 secara transparan dan komprehensif oleh stakeholders yang memiliki peran dalam penanganan wabah ini adalah keharusan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan wajib diselenggarakan. Hal ini secara jelas diatur dalam Pasal 57 ayat 2 UU. No. 36 Tahun 2009 (selanjutnya disebut dengan UU Kesehatan Nasional) menegaskan bahwa hak atas rahasia kondisi pribadi dianggap tidak berlaku dalam konteks perintah Undang-Undang dan kepentingan masyarakat.

Kondisi ini memunculkan konflik permasalahan hukum yang cukup krusial antara pelindungan hak pribadi dengan pemenuhan kepentingan umum, problematika perlindungan keamanan rekam medis harus diperlakukan secara berbeda dan transparansi informasi kepada publik menimbulkan tantangan bagi keberadaan hak asasi yang bersifat privat. Privasi medis dapat pula merujuk kepada interaksi antara pasien dan penyedia saat berada di fasilitas medis.[3] 

Latar belakang dari penulisan artikel ini adalah mengidentifikasi sudut pandang hukum nasional dalam melihat keterbukaan data medis dari seorang pasien sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pemberian informasi kepada masyarakat umum terkait penanganan wabah Covid-19. Kemudian, menganalisis bagaimana perlindungan hukum yang telah diberikan kepada para pemilik rekam medis guna menjaga hak privasi tetapi juga tetap dapat dijadikan bahan dalam menindaklanjuti perihal mengatasi permasalahan medis. Tujuan akhir dari dibuatnya artikel ini adalah untuk memberikan evaluasi yang terstruktur kepada para stakeholder terutama pemerintah sebagai pembuat kebijakan.

Sudut pandang beberapa Peraturan dalam Hukum Nasional Terhadap Hak atas Informasi Publik Berkaitan Dengan Data Rekam Medis Pasien Pengidap Covid-19

Sebelum memahami secara lebih dalam mengenai kedudukan data rekam medis pasien dalam berbagai instrumen hukum yang berperan secara nasional, maka akan lebih baik jika dipaparkan pemahaman tentang konsepsi mengenai hak dan informasi. Kerangka berpikir suatu hak berdasarkan pendapat Sudikno Mertokusumo adalah kepentingan yang proteksi, sedangkan kepentingan itu sendiri diartikan sebagai perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi kebutuhannya. Kepentingan pada dasarnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.[4] Menindaklanjuti pengertian tersebut, maka hak dapat dikategorikan sebagai sesuatu hal yang bersifat terhubung erat secara hakiki pada diri manusia dan pengamalannya diterapkan dalam lingkup kebebasan dan persamaan pada saat melakukan interaksi dengan sesama manusia maupun suatu lembaga. 

Selain itu, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam terhadap istilah informasi karena hal ini sangat erat kaitannya dengan hubunngan antara pasien dan tenaga medis dalam bersinergi mengatasi pandemi Covid-19. Diksi informasi sendiri berasal dari kata informare yang bermakna memberikan bentuk dan to inform yang memiliki arti memberitahukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun