Mohon tunggu...
Muhammad Fikri
Muhammad Fikri Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar Menulis

Mahasiswa Prodi Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Merawat Persatuan dan Kesatuan Pemuda di Tengah Perbedaan dan Keberagaman Indonesia

14 Januari 2021   15:31 Diperbarui: 14 Januari 2021   15:37 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia dikenal sebagai jamrud khatulistiwa. Dijadikan perumpamaan surga karena indah dan kayanya alam Indonesia. Bahkan seorang Grand Mufti Al-Azhar Kairo pada suatu kesempatan ketika menginjakkan kaki di Indonesia mengatakan bahwa Indonesia adalah serpihan-serpihan surga yang ada di dunia, beliau juga mengatakan kelak ketika orang-orang Indonesia berada di surga, mereka tidak akan takjub dan kaget, karena negerinya sendiri adalah surga.
Tidak berlebihan memang jika mengibaratkan indonesia sebagai serpihan surga. Keindahan dan kekayaan alam tiada tandingan yang diciptakan Tuhan untuk Indonesia menjadi buktinya. Gunung-gunung berbaris dari ujung Sumatera hingga Papua, pantai-pantai berjajar indah disetiap pulau-pulau di Nusantara, serta tumbuhan dan rempah-rempah tumbuh subur di bumi Nusantara. Tidak mengherankan jika Belanda dan Jepang bergantian menjajah Indonesia berabad-abad lamanya.

Tidak hanya kekayaan dan keindahan alamnya saja yang menjadikan Indonesia sebagai surga, keberagaman masyarakatnya juga merupakan salah satu kekayaan yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Terdapat 742 bahasa, 4 ras bangsa, 1340 suku, 7241 budaya serta 5 agama dan beberapa kepercayaan tersebar di 17.504 pulau di Indonesia. keberagaman ini diikat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpegang teguh kepada Pancasila sebagai dasar dan falsafah kehidupan Bangsa Indonesia.

Eropa satu bangsa pecah menjadi puluhan negara, Arab satu bangsa harus pecah menjadi beberapa negara yang berdiri sendiri. Hal tersebut tentu berbeda dengan Indonesia yang terdiri dari beberapa bangsa dan bahu membahu menjadi hanya dengan satu negara saja. Tidak mengherankan jika masyarakat Indonesia hidup ditengah perbedaan dan keanekaragaman yang ada didalamnya.

Ditengah beragamnya corak masyarakat indonesia, perbedaan adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Karena pada hakikatnya perbedaan adalah fitrah manusia dan bukanlah sesuatu yang harus dipertententangkan dan diributkan yang nantinya akan berdampak pada terjadinya konflik horizontal antar anak bangsa yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Dalam hal ini peran pemuda sangat dibutuhkan dalam menjaga dan ikut berkontribusi memelihara keanekaragaman yang ada serta menjadi agen pemersatu bangsa ditengah perbedaan-perbedaan yang ada. Pemuda diharapkan mampu menjaga keutuhan bangsa ditengah perbedaan yang dijadikan sasaran empuk pemangku kepentingan untuk memecah belah bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, pemuda didorong untuk melakukan hal-hal positif dalam kegiatan sehari-hari. Hal-hal yang tidak bertentangan atau berlawanan dengan hukum atau hal-hal yang didalamnya terdapat nilai-nilai luhur pancasila. Salah satu kegiatan positif yang belakangan ini digandrungi oleh para pemuda adalah mendaki gunung. Mendaki gunung adalah salah satu bentuk rasa syukur atas keindahan gunung-gunung yang diciptakan dan menjadi anugerah dari Tuhan untuk Indonesia.  

Ketika mendaki gunung, seluruh perbedaan yang melekat pada masing-masing individu melebur dalam kehangatan perjalanan menapaki bukit-bukit kecil hingga sampai pada puncak gunung yang dituju. Tidak ada yang mempertanyakan atau mempermasalahkan apa agamamu atau apa kepercayaanmu. Tidak ada yang mempedulikan dari mana kamu berasal atau dari etnis mana kamu dilahirkan. Betapa gunung bisa menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada dan menjadikannya sebuah harmoni keberagaman yang indah. Itu yang kami rasakan ketika mendaki ke Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa atau disebut juga sebagai atap Pulau Jawa.

Dalam satu rombongan kami berisi 12 orang, berasal dari daerah yang berbeda-beda, mulai dari Bali, Malang, Surabaya, Gresik, dan Jakarta. Selain daerah kami yang berbeda-beda, agama kami dalam satu rombongan pun berbeda-beda, ada yang Islam, Hindu, dan Katholik. Perbedaan ini bisa diikat oleh satu tujuan yaitu mendaki ke Puncak Mahameru dan kembali kerumah masing-masing dengan selamat. Seperti ini kiranya dulu para pahlawan melawan dan mengusir penjajah tak peduli asal dan agama yang berbeda tetapi semua dipertaruhkan untuk satu tujuan bersama yaitu kemerdekaan Indonesia.
Ketika beristirahat, yang non muslim mengingatkan yang muslim untuk beribadah, begitu pula sebaliknya. Tidak ada upaya menghalang-halangi untuk beribadah dan saling mengormati ibadah masing-masing. Ini mencerminkan sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa serta serta sesuai dengan UU tentang mendukung hak-hak untuk melaksanakan ibadah masing-masing serta menjamin kebebasan dalam beribadah.

Di gunung kami dituntut untuk berprilaku baik dan sopan serta tidak diperkenankan untuk melakukan hal-hal yang dapat menggganggu atau hal-hal senonoh yang tak pantas dilakukan di gunung. Ini mencerminkan prilaku dari nilai sila kedua yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kita dituntut untuk beradab sebagai manusia dengan tidak mengganggu makhluk hidup lainnya yang tinggal di gunung seperti tumbuhan, binatang, hingga makhuk yang tak kasat mata.
Ketika berhasil sampai di Puncak Mahameru, semua pendaki serentak mengibarkan bendera merah putih serta menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia yakni Indonesia Raya. Pendaki dari berbagai daerah yang berbeda-beda serta agama yang berbeda-beda dengan khusyuk dan bangga menyanyikan lagu kebangsaan hingga ada sebagian yang meneteskan air mata. Ini tentu berhubungan dengan sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia. seluruh perbedaan yang ada lebur dan bersatu dalam kibaran Sang Saka Merah Putih di Puncak Tertinggi Pulau Jawa.

Dalam mengambil keputusan untuk menentukan kapan harus istirihat dan kapan harus melanjutkan perjalanan kami juga melakukan musyawarah mufakat. Tidak memaksakan kehendak yang muslim saja tanpa mendengar pendapat yang non muslim, tetapi semuanya berdiskusi serta musyawarah bersama-sama sehingga nantinya tidak ada diskriminasi dalam satu rombongan. Tentunya ini adalah salah satu pengamalan nilai-nilai dari sila keempat yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.

Begitupula ketika kita membagikan beban logistik selama pendakian, atau tugas-tugas individu dalam hal membangun tenda, memasak, dan mencari air kami membagikan secara adil tanpa membeda-bedakan perbedaan diantara kami. Ini sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung didalam sila kelima yaitu Keadilan Sosial Untuk Seluruh Rakyat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun