Mohon tunggu...
Muhammad Farras Shaka
Muhammad Farras Shaka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Free mind, reflective, and critical.

Seorang terpelajar mesti adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sebuah Mimpi Bernama "Politik Cinta": Mewujudkan Politik yang Saling Mencintai

23 Agustus 2022   10:08 Diperbarui: 23 Agustus 2022   10:13 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

I have a dream...

Martin Luther King, Jr, tokoh yang mampu menjadi simbol kedamaian universal hanya dengan satu frasa yang menggetarkan, "I have a dream...". Segala perubahan besar diawali oleh mimpi yang besar pula, dari mimpi yang besar ini lah segala pintu menuju perubahan tersebut akan mulai terbuka. 

Tulisan saya kali ini adalah soal dream yang besar tersebut, sebuah mimpi besar tentang politik kita, sebuah "I have a dream" yang dianggap sebagai suara sumbang di tengah politik carut-marut minim cinta dan ukhuwah. 

Tulisan ini adalah tentang mengapa "politik cinta" menjadi hal yang urgen bagi kesejahteraan kita semua, dan tentang mengapa solidaritas di tengah perbedaan lah yang sejatinya membuat kita menjadi manusia berjiwa bersih. 

Yang kita mesti pertama kali pahami adalah bahwa perbedaan itu fitrah, namun menjadi musuh bebuyutan-abadi dan saling menjadi serigala bagi satu sama lain adalah sebuah pilihan. 

Pluralitas yang ada di dunia ini sejatinya mampu membuat kita menjadi saling mencintai satu sama lain,  bersatu bukan berarti melebur dalam satu wadah yang sama dan meninggalkan simbol unik kita masing-masing, bersatu artinya adalah menyadari keunikan simbol kita masing-masing, namun di tengah perbedaan simbolik tersebut, kita sadar bahwa hakikatnya kita semua adalah manusia, sama-sama mahluk yang lemah, sama-sama mahluk yang memiliki nurani dan akal pikiran, sama-sama homo sapiens. 

Ketika kita mampu memandang manusia terlepas dari apa latar belakangnya, baik itu latar belakang rasial, religius, kultural, ataupun organisasionalnya, disitu lah kita sudah siap menjadi manusia, sebab menjadi manusia itu adalah takdir, namun menjadi manusiawi itu adalah pilihan.

Antara homo homini lupus, Macchiavelisme praktis, dan pseudo-realisme 

Realistis, apa sesungguhnya makna realistis itu? Realisme seringkali dimaknai sebagai sesuatu yang jauh dari alam utopia, utopia seringkali dimaknai sebagai surga indah yang tidak akan mampu dicapai manusia yang hina, sedangkan realistis terlanjur dimaknai sebagai suatu kondisi "kanibalisme politik" yang sudah terpatri dalam diri manusia dan menjadi hal yang sudah pasti akan terjadi di dalam segala proses politik yang berkaitan dengan kekuasaan. 

Seberapa yakin kita bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya? Seberapa beriman kita bahwa kekuasaan politik hanya akan mampu diraih dengan metode imoral-positivis? 

Mereka yang bermimpi bahwa politik cinta dan politik yang saling mencintai masih mungkin seringkali dianggap ngelindur, atau masih belum terbangun dari tidur nyenyaknya, seolah-olah bahwa politik cinta kasih itu adalah sebuah hal yang nyangkut di alam sana, yang tidak akan mampu turun ke dunia yang "serigalawi" ini. Idealisme kontraposisi dengan realisme, idealisme artinya masih tertidur, realisme artinya sudah terbangun. Apakah memang benar begitu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun