Mohon tunggu...
muhammad farhan
muhammad farhan Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pelajar

Muhammad Farhan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PJJ, Wali Murid, Gawai, dan Pandemi

24 April 2022   12:53 Diperbarui: 24 April 2022   13:17 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Anak saya baru masuk TK loh, Mas. Tiba-tiba (belajarnya) online. Kan susah. Anak TK kok belajarnya online. Kasian saya ke ibunya." kata bapak itu sambil asyik mengendarai motor. Raut wajahnya yang berwibawa, suaranya yang agak berat, dan persoalan yang beliau bahas mengisayaratkan bahwa beliau merupakan sosok ayah yang perhatian akan pendidikan anaknya. Banyaknya goresan di helmnya seakan menjadi saksi bisu akan ketekunan beliau dalam menjalani profesinya. Jaket hijaunya juga tidak kalah mengesankan.

Dua tahun yang lalu kami semua beraktivitas secara biasa. Pekerja pergi ke tempat kerja dan murid-murid belajar di sekolah. orang-orang tua mengerjakan kewajiban mereka masing-masing. Akan tetapi, tiba-tiba kami dituntut untuk berjarak. Satu hal yang agak saya sukai, yakni kewajiban memakai masker. Semua aktivitas normal itu dihantam pandemi. Banyak hal yang terlantar, termasuk pendidikan. Lucu rasanya karena telah dua kali lebaran kami terasa bukan lebaran. Ya, begitulah. Anak-anak semakin terikat dengan gawai. Mereka diperintahkan untuk belajar melalui gawai. Namun, mabar justru menjadi rutinitas mereka yang baru. Mereka adalah anak-anak SMP dan SMA. Adik-adik tingkat mereka mempunyai cerita yang menarik pada saat masa pemelajaran jarak jauh (PJJ) berlangsung.

Anak-anak TK dan SD sangat menyukai pandemi. Tidak ada rutinitas berangkat ke sekolah pada pagi hari. Sekolah mereka menerapkan pembelajaran secara daring. Mereka pun semakin senang karena dapat berlama-lama menggunakan gawai dengan dalih belajar. Entah mereka belajar atau tidak. Tebak saja sendiri.

Tetangga kami sering membentak anaknya. "HP teros!" adalah ucapan alarm waktu asar yang selalu membangunkan kami dari tidur siang sejak beberapa bulan yang lalu. Sejak sekolah anaknya menerapkan PJJ, gawai mengakar kuat di genggaman anaknya. Kelima jemarinya yang lentik kini menjadi pengikat gawai. Ibunya resah. Beliau ingin mendampingi anaknya belajar, tetapi latar belakang pendidikan rendah dan pengetahuan akan teknologi yang lemah menghalangi keinginan beliau. Lemahnya pengetahuan mengenai pola asuh anak juga melatarbelakangi seringnya beliau membentak anaknya ketika hanya bermain gawai seharian. Banyak orang menyayangkan pandemi, menyayangkan sekolah yang kini menerapkan PJJ. Mereka, para orang tua yang menyayangkan keadaan demikian, adalah generasi kalkulator, sedangkan anak mereka adalah generasi gawai. Mereka kalah mahir dengan anaknya dalam menguasai teknologi. PJJ membuka kekurangtahuan mereka akan teknologi. Apalah daya. Tetangga-tetangga kami hanyalah pedagang di pasar. Daripada berlarut-larut menyalahkan pemerintah dalam menangani pandemi, ada satu hal yang saya kira perlu diperhatikan. Hal tersebut adalah kekurangtahuan generasi kalkulator akan teknologi dan internet.

            Rumah kami berada di daerah pesisir utara, bukan daerah perkotaan. Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai pedagang di pasar, termasuk orang tua kami. Kebanyakan mereka hanya tamatan SD atau SMA. Sarjana masih sedikit jumlahnya di sini. Dengan latar belakang pendidikan demikian, kiranya mudah ditebak bagaimana cara asuh generasi kalkulator kepada anak-anak mereka, generasi gawai. Masih ada sejumlah orang tua yang menggunakan kekerasan dalam mengasuh anaknya. Metode mereka klasik. Prinsipnya adalah ga nurut, gebuk. Metode pengasuhan anak semacam itu diduga menjadi penyebab adanya sejumlah anak berusia tujuh tahunan yang suka cari muka dengan berbagai cara. Kadang mereka melanggar adat. Kadang mereka nakal demi dikejar dan namanya menjadi topik bahasan manis di mulut-mulut ibu-ibu di pasar. Namun demikian, tidak semua generasi kalkulator bernasib dan bersikap seperti itu. Sebagian kecil dari mereka lebih up to date, baik dalam hal cara mengasuh anak maupun dalam hal pengetahuan akan teknologi

Kiranya mudah ditebak pula pengetahuan generasi kalkulator tersebut akan teknologi mutakhir. Karena latar belakang pendidikan, geografis, dan kelas sosial, mereka tertakdirkan untuk menjadi generasi yang gagap teknologi, terkhusus mengenai media sosial dan platform pendidikan atau platform pembelajaran online.

Pada hari-hari normal, kebodohan generasi kalkulator akan dunia maya tertutupi. Tutup itu terbuka sejak pandemi dimulai. Anak-anak tidak belajar di sekolah. mereka belajar via gawai. Bebaslah mereka untuk memegang gawai sepanjang hari. Pada saat mengetahui anaknya hanya mabar seharian tanpa belajar, para orang tua menerapkan prinsip ga nurut, gebuk. Entah terasa atau tidak, sepertinya cara demikian membuat anak-anak menjadi ogah belajar dan semakin mencintai mabar. Ini sungguh merupakan kisah cinta yang menarik.

Tetangga kami yang sebelahnya lagi suka mencubit anaknya karena geram melihat anaknya menduakan ibunya. Si anak memilih gawai. Seorang ibu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala ketika anaknya meminta bantuan untuk mengerjakan tugas sekolah melalui Google Classroom. Si ibu menyerah; si anak menyerah pula. Si anak pun memilih mabar. Si ibu geram dan hukum ga urut, gebuk hadir. Terjadilah.

Keadaan demikian semakian membaik ketika aturan PJJ melunak. Anak-anak bersekolah tiga hari sepekan. Pandemi (dianggap) melunak. Sembari mengantar adik saya berangkat ke sekolahnya, pikiran saya menyadari satu hal. Kesadaran itu datang tiba-tiba pada saat fisik kami berdua berada di atas sepeda motor warisan kakek. Nyatalah bahwa generasi kalkulator perlu mampu mengikuti tren teknologi mutakhir guna dapat mengawasi anaknya dalam menkmati teknologi tersebut. Memanglah mereka disibukkan dengan pekerjaan demi kehidupan keluarga. Akan tetapi, dunia berubah. Anak-anak mereka tidak bermain bola atau kelereng, tetapi gawai.

Terlepas dari tuntutan hidup masyarakat perdesaan, generasi kalkulator perlu mengawasi generasi gawai dalam bergawai. Jika demikian, generasi kalkulator harus meningkat menjadikan mereka generasi kalkulator yang menguasai gawai. Jika tidak, anak-anak mereka akan manunggal dengan gawai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun