Mohon tunggu...
muhammad farhan
muhammad farhan Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pelajar

Muhammad Farhan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Potret Pendidikan Madrasah

25 Oktober 2021   22:16 Diperbarui: 25 Oktober 2021   22:30 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pukul dua siang mereka telah duduk manis di kursi masing-masing sembari menunggu guru masuk kelas. Suasana siang hari yang cerah menambah nuansa damai. Terlebih, beberapa kelas pada siang itu mendapat giliran untuk melantunkan syair-syair kitab kuning. Ada pula kelas yang selalu perlu dikondisikan terlebih dahulu oleh wali kelasnya supaya tidak mengganggu suasana damai siang yang cerah itu. Madrasah pada siang hari itu sangatlah terasa damai.

Saya dan teman-teman sekelas kala itu mendapat pelajaran tentang akidah. Guru yang mengajar merupakan salah satu guru favorit kami di madrasah. Beliau juga menjabat sebagai kepala madrasah kami. Kami menyukai beliau karena sikapnya yang tenang, baik pada saat mengajar maupun pada saat tidak mengajar. Sikapnya benar-benar memesona. Pak Ilyas namanya.

Pada saat kami menerima pelajaran dari beliau kala itu, saya tidak menyadari apa pun. Akan tetapi, sebuah pikiran terbesit di kepala dan mempertanyakan kebenaran pelajaran itu. Andai saja pikiran itu muncul lebih awal, pasti saya akan menanyakannya langsung kepada Pak Ilyas. Sayangnya, pikiran itu baru muncul sepuluh tahun setelah kami menerima pelajaran tersebut. Ingin rasanya saya menyesal karena baru memikirkan hal semacam ini,tetapi waktu telah berlalu. Oleh karena itu, saya berusaha mencari jawabannya sendiri. Mungkin hanya saya seorang yang berpikiran seperti ini.

Sepuluh tahun berlalu seolah tanpa terasa. Tiba-tiba saya sangat ingat suasana kelas pada saat kami menerima pelajaran itu dari Pak Ilyas. Gambaran ingatan itu sangat jelas. Bahkan saya ingat pola batik pada baju yang dipakai Pak Ilyas. Semua perkataan, bahasa tubuh, dan intonasi beliau pada saat mengajar kami saya ingat dengan jelas. Setelah sepuluh tahun berlalu semuanya teringat dengan jelas. Ingatan itu muncul bersamaan dengan pikiran yang menggelitik di kepala.

Ingatan itu seolah mewujud mesin waktu yang membawa jasad saya kembali ke waktu itu, yakni saat kami belajar akidah bersama Pak Ilyas. Diri saya yang sekarang dibawa oleh ingatan itu ke masa sepuluh tahun yang lalu. Dalam gambaran ingatan tersebut, seolah diri sayang yang sekarang sedang berada dalam kelas kami sepuluh tahun yang lalu. Saya menyaksikan kelas kami sepuluh tahun yang lalu.

Pak Ilyas mengawali kelas akidah dengan mengajak kami berdoa. Memanglah demikian kebiasaan kami di madrasah.

"Orang Yahudi itu ga boleh kita tiru." ungkap beliau.

Dengan gaya wicaranya yang kami suka, Pak Ilyas membuat kami terpaku. Kami hanya bisa terdiam jika beliau sudah tampil di depan kami.

 "Kalo kalian suka liat film Barat, jangan coba-coba tiru gerakan tokoh film itu. Kalian suka nonton apa? Spiderman? Nah. Spiderman itu kan tangannya mesti tiga jari gitu kalo mau ngeluarin jaringnya. Kalian jangan suka niru gitu ya. Kalo kalian niru, berarti menyerupai orang Yahudi." lanjut Pak Ilyas.

Kami mengangguk saja ketika Pak Ilyas mengajar kami siang itu. kelas pun berakhir pada saat azan asar dikumandangkan. Kami bergegas pergi ke masjid untuk salat berjamaah lalu pulang. Sejak hari itu, entah mengapa, kami sangat tidak suka meniru gerakan jari Spiderman walaupun sebelumnya sangat suka bertingkah layaknya Spiderman. Kami takut murtad. Namun, rasa takut murtad itu secara perlahan pudar. Kami bertingkah seperti biasa lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun