Mohon tunggu...
muhammad farhan
muhammad farhan Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pelajar

Muhammad Farhan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahasa Kromo Menurut Beberapa Orang

15 Juni 2021   14:04 Diperbarui: 15 Juni 2021   14:24 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apa yang harus kita perbuat terhadap bahasa kromo? Haruskah kita memaksa orang lain untuk menggunakannya dalam berkomunikasi sehari-hari atau bagaimana? Suara generasi yang mengkhawatirkan punahnya bahasa kromo semakin nyaring. Bagi mereka, punahnnya bahasa kromo merupakan suatu bencana, yaitu bencana yang berupa bobroknya moral masyarakat. Memanglah demikian. Banyak orang yang berpendapat bahwa merosotnya nilai-nilai moral berhubungan dengan semakin redupnya cahaya bahasa kromo. Semakin ditinggalnya bahasa kromo oleh masyarakat pewarisnya, semakin bejatlah moral masyarakat tersebut. Benarkah deminkian? Entahlah.

            Isu seperti itu sudah lama digaungkan. Berbagai upaya ravitalisasi bahasa kromo pun telah lama dijalankan. Salah satunya adalah menjadikan bahasa kromo sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah, mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Akan tetapi, status bahasa kromo di sekolah-sekolah sebatas sebagai mata pelajaran muatan lokal. Itu berarti bahwa mata pelajaran bahasa kromo menjadi mata pelajaran pinggiran. Sebagian besar murid pun menyepelekan mata pelajaran tersebut. Akhirnya, hingga saat ini, menjadikan bahasa kromo sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah belum secara efektif meningkatkan kesadaran generasi penerus akan pentingnya bahasa kromo.

            Rido adalah teman kami. Kami berteman sejak tahun 2016. Pertemanan kami dimulai saat kami duduk di bangku madrasah aliyah. Di antara kami, Ridolah siswa yang hampir tidak pernah berurusan dengan guru BK. Itu mungkin karena dia pendiam, namun humoris. Selera humor dan wajah lucunya mampu membuat orang lain iba kemudian tidak marah. Walaupun tidak pernah dimarahi oleh guru, Rido sering dipanggil ke kantor guna dimintai keterangan. Dia sering menjadi saksi atas kasus teman-temannya.

            Kami hanya santri biasa. Tidak ada di antara kami yang merupakan turunan kiai. Semuanya hanya anak pedagang atau petani. Bahasa yang kami pakai untuk komunikasi dengan keluarga bukanlah bahasa kromo, tetapi bahasa ngoko. Bahasa kromo seolah merupakan bahasa kalangan keluarga kiai bagi kami.

            Kami memang tidak begitu fasih berbahasa kromo.akan tetapi, sekadar mengucapkan kata nggih dan mboten jika dinterogasi kiai, kami sangat fasih. Memanglah kami santri-santri yang nakal saaat itu. kiai mengenal kami satu persatu bukan sebab prestasi, tetapi sebab kami sering menghadap beliau karena telah melanggar peraturan pesantren. Walaupun terbilang santri nakal, kami bersyukr karena semakin sering kami menghadap kiai kami, semakin sering kami berlatih komunikasi dengan menggunakan bahasa kromo. Kosa kata bahasa kromo kami bertambah tiap kali menghadap beliau. Tidak lagi hanya kata nggih dan mboten yang kami mampu ucapkan. Sejak sering menghadap kiai, kami sangat mahir berbelit-belit dalam bahasa kromo.

            Suatu hari, kami  tengah mengobrol bersama. Di tengah obrolan yang asyik itu, Rido menyampaikan opininya tentang bahasa kromo. Selama hidupnya, dia memang telah banyak mengalami situasi yang mengharuskannya berbahasa kromo. Tidak hanya setelah menjadi santri, masa kecilnya pun diwarnai oleh pengalaman-pengalaman terkit bahasa kromo. Dari sekian banyak pengalaman tersebut, da berkesimpulan bahwa bahasa kromo adalah bahasa yang harus dikuasai padahal tidak diajarkan oleh orang tua. Bagian sulitnya adalah saat kami harus menguasai bahasa kromo tidak sejak dini. Kami yang hanya anak petani atau pedagang diharuskan berbhasa kromo saat berbicara dengan kalangan kiai, walaupun belum pernah mempelajarinya.

            Selain pandangan Rido, nenek saya pun memiliki pandangan terhadap bahasa kromo. Tidak lengkap rasanya jika menulis kumpulan pendapat orang tentang bahasa kromo tanpa menyebut pendapat orang tua. Mungkin, karena kalangan orang tualah generasi yang paling vokal dalam upaya revitalisasi Bahasa kromo, suara merekalah yang paling layak dijadikan rujukan. Mungkin demikian. Akan tetapi, ukuran kelayakan pendapat memang bukan diukur dari generasi mana yang berpendapat. Kelayakan pendapat diukur dari kekuatan argumen atau alasannya. Semakin logis alasan sebuah pendapat, semakin layaklah pendapat tersebut.

            Hamidah adalah nama nenek saya. Beliau kelahiran tahun 60-an. Dalamnya guratan-guratan wajahnya seolah menjadi bukti akan pengalaman hidup beliau. Beliau akrab dipanggil Yu Idah oleh para tetangga kami. Namun, kami akrab memanggilnya made.

            Usia yang telah lama matang dan pengalaman merantau yang cukup lama di pinggiran metropolitan menjadikan Made seorang yang memiliki suatu teori tentang moralitas. Beliau amat fanatik dengan teornya itu. bila berkomunikasi dengan anak-anaknya, Made tidak menggunakan bahasa kromo. Akan tetapi, cucu-cucu beliau mahir berbahasa kromo. Anak-anak made amat peduli akan masalah keberbahasaan anak-anaknya. Fasihnya cucu-cucu Made dalam berbahasa kromo semakin meyakinkan Made bahwa teorinya benar. Made pun semakin fanatik akan teorinya.

            Pada suatu siang yang cerah, Made tengah berbincang dengan seorang tetangga di teras rumah. Perbincangan mereka tidak sengaja saya dengar.mereka sedang berbincang tentang pengalaman masing-masing dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. Karena lawan bicara Made itu seorang guru, sesekali beliau menceritakan pengalamannya dalam mengatasi kenakalan murid-muridnya. Begitu asyiknya mereka memperbincangkan permasalahan remaja nakal.

            Perbincangan itu berakhir dengan pembahasan solusi kenakalan remaja. Made pun mengkampanyekan teorinya. Made berpendapat bahwa seorang anak tidak akan nakal pada masa remajanya jika sejak dini didongengkan pesan-pesan moral oleh orang-orang di sekitarnya, terutama orang tua. Dengan begitu, dongeng-dongeng tersebut akan terpatri dalam sanubari si anak hingga ia dewasa kelak. Dengan kata lain, si anak tidak akan nakal semasa remaja hingga dewasanya nanti. Termasuk upaya untuk mengefektifkan proses pendongengen adalah pengawalan keberbahasaan anak. Anak akan lebih berhati-hati dalam berperilaku jika dia sudah terbiasa berbahasa kromo. Itulah teori Made. Seberapa efektifkah teori Made tersebut?

            Salah satu guru kami di pesantren juga memiliki pandangan sendiri. Beliau bernama Adib. Latar belakangnya sebagai anak kiai menjadikan pandangannya terhadap bahasa kromo tidak sama dengan dua pandangan yang telah disebut. Desa kelahiran Kang Adib, demikian panggilan beliau, hanya berjarak satu desa dengan situs pemakaman Sunan Gunung Jati. Desa Kraton namanya. Ini tidak berarti bahwa kampung halaman Kang Adib terbilang agamis. Justru desa sebelah, yakni desa Bedulan, terkenal akan warganya yang kasar dan gemar berkelahi. Terlebih, mereka berkelahi sebagai ajang adu semacam ilmu kebal. Terlepas dari itu, ayah beliau sangat memerhatikan perkembangan moral anak-anaknya.

            Sejak usia dini, Kang Adib sudah dikenalkan dengan ilmu-ilmu yang pada umumnya baru diperoleh di pesantren. Oleh sebab itu, beliau dan saudara-saudaranya seolah disiapkan untuk menjadi kiai-kiai masa depan. Selain ilmu agama, kebiasaan untuk berbahasa kromo juga ditanamkan sejak dini.

            Kang Adib adalah guru kesukaan kami semua. Wajah dan gaya mengajarnya sungguh memesona. Tidak aneh jika beliau langsung mendapat simpati semua santri walau baru mengajar di pesantren kami beberapa hari saja. Semua santri, baik laki-laki maupun perempuan, amat takzim kepada beliau.

            Walaupun mendapat jadwal mengajar, Kang Adib tetaplah manusia biasa. Beliau bahkan sering drop karena terlalu lelah mengajar. Tiap kali drop, Kang Adib selalu memerintahkan salah satu dari kami untuk memijati beliau. Dan momen pijat inilah yang menjadi kelas tambahan yang sangat berharga. Biasanya, saat tengah dipijat, Kang Adib mengajak santri yang sedang memijatnya berbincang-bincang. Perbincangan itu bermacam-macam. Namun, perbincangan yang sangat berkesan bagi saya adalah ketika beliau menasihati satu hal. Beliau menasihati bahwa seseorang yang fasih berbahasa kromo pastilah orang yang santun. Mereka santun dalam berperilaku karena dalam hal berbahasa saja mereka sudah dituntut untuk santun, apalagi dalam berperilaku. Selain dituntut untuk santun, mereka juga dituntut untuk cermat dan teliti dalam memilih kosa kata ataupun tindakan. Mereka dituntut agar berbicara atau berperilaku tanpa merugikan orang lain.

            Dengan pemaparan tiga pandangan di atas, harus kita perbuat apa terhadap bahasa kromo sekarang ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun