Di sekolah, pelajaran sering kali hanya dikejar demi satu hal yaitu nilai. Nilai bagus dan ranking tinggi sudah cukup untuk membuat orang tua bangga. Lalu semuanya dianggap selesai. Padahal, pelajaran yang hanya ditujukan untuk mengejar angka biasanya cuma meninggalkan angka. Esensinya? Hilang entah ke mana.Â
Ambil contoh paling klise tapi relate yaitu matematika. Dari SMP sampai SMA, berapa  banyak siswa yang benar-benar paham kenapa rumus segitiga itu setengah alas kali tinggi? Berapa banyak yang tahu kenapa turunan sin(x) bisa jadi cos(x)? Alasan logika umumnya bagaimana? Mayoritas cuma menghafal rumus dan menurunkan jawaban pakai kalkulasi cepat. Yang penting dapet hasil. Yang penting dapet nilai. Logika? Nanti dulu.Â
Akhirnya kita hidup di ekosistem belajar yang sempit, kering dan mekanis. Matematika dianggap cuma urusan angka dan huruf. Padahal, makna sejati matematika itu bukan soal X, Y, atau , tapi soal bagaimana manusia diajak untuk berpikir jernih dan logis.Â
Matematika Tidak Pernah Salah, Sistem Kita yang TumpulÂ
Seperti konsep logaritma. Logaritma adalah invers dari eksponen. Artinya, ia memetakan pertumbuhan yang pesat di awal, tapi melambat seiring waktu. Logika umum dari konsep logaritma adalah pertumbuhan tidak selalu linier, misalnya belajar di awal terasa berat, tapi setelah paham dasar, perkembangan akan terasa lebih cepat begitupun sebaliknya.Â
Logika umum demikian tidak pernah diajarkan ketika di sekolah. Persis seperti kata Bertrand Russell yang menyebut matematika sebagai cabang dari logika murni atau sering disebut juga filsafat.Â
Jadi, belajar matematika = belajar logika filsafat.Â
Ironisnya, selain profesionalis setelah lulus sekolah lebih dari 90% orang tidak akan menggunakan rumus itu lagi. Tapi logika? Penalaran? Digunakan tiap hari, entah untuk decision making, debat kusir di grup WhatsApp, ngitung duit, atau milih pasangan hidup.Â
Maka kalau ada siswa yang gagal mengonversikan logika matematika ke dalam kehidupan sehari-hari, bisa jadi ia sebenarnya tidak pernah benar-benar belajar matematika. Cuma belajar ngisi soal untuk dapat nilai. Akibatnya, pendidikan kita gagal menanamkan cara berpikir. Yang dikejar bukan pemahaman, tapi hafalan. Bukan aktualisasi, tapi akreditasi. Bukan logika, tapi lembar jawaban ujian.Â
Tapi, salah siapa? Siswa? Tidak sepenuhnya salah siswa. Karena setiap hilir pasti ada hulunya. Pendidikan kita sejak lama terjebak pada formalitas, kurikulum kaku, metode jadul, guru yang dicekoki administrasi numpuk, dan siswa yang jadi korban kejar tayang.Â
Orientasi belajar di sekolah pun melenceng. Fokusnya bukan lagi pada aktualisasi atau nalar, tapi sekadar hasil akhir seperti nilai, ranking, dan reputasi "siswa pintar" di kelas.Â