Dahulu, hampir setiap rumah di Indonesia memiliki pekarangan kecil yang dipenuhi tanaman obat.Â
Di sanalah ibu-ibu memetik daun sirih untuk obat sariawan, atau menggali rimpang jahe untuk menghangatkan tubuh anaknya yang demam.Â
Tak perlu pergi ke klinik, karena alam telah menyediakan obatnya di halaman sendiri. Pengetahuan tentang khasiat tanaman itu diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi sebuah kearifan lokal yang tumbuh bersama akar budaya kita.
Pekarangan bukan hanya tempat bermain anak atau menjemur pakaian, melainkan ruang hidup yang menyatu dengan tradisi dan kesehatan keluarga.Â
Anak-anak diajarkan membedakan antara daun pandan dan daun sembung, tahu kapan kunyit siap dipanen, dan paham cara meracik ramuan sederhana.Â
Semua itu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang kini mulai tergeser oleh modernisasi dan kepraktisan zaman.
Namun kini, keberadaan tanaman obat di pekarangan kian langka. Rumah-rumah modern lebih memilih taman dengan rumput sintetis atau tanaman hias impor yang indah dipandang, tetapi tidak memiliki nilai fungsional.Â
Lahan yang sempit dan gaya hidup serba instan menjadikan tradisi menanam obat keluarga dianggap tidak relevan lagi.Â
Bahkan banyak generasi muda yang tak lagi mengenal perbedaan antara lengkuas dan jahe, atau tidak tahu bahwa daun sambiloto bisa meredakan demam.
Ketergantungan pada obat-obatan kimia yang mudah dibeli di apotek juga ikut mengikis kesadaran akan kekuatan alam.Â