"Di era digital yang serba cepat ini, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) semakin menjadi-jadi di Indonesia."
Dulu, orang rela antre berjam-jam demi boneka lucu (Labubu) dari restoran cepat saji. Tak peduli siang atau malam, hujan atau panas, antrean tetap mengular demi satu hal: tidak mau ketinggalan momen yang sedang viral.Â
Fenomena ini bukan lagi soal suka atau butuh, tapi soal eksistensi tentang menjadi bagian dari tren yang sedang "panas". Kini, pola itu bertransformasi.Â
Bukan hanya boneka, masyarakat mulai memburu barang-barang lain yang memiliki nilai emosional dan simbolis, seperti koin emas edisi terbatas atau produk-produk eksklusif yang hanya tersedia dalam jumlah terbatas.Â
Perilaku ini menunjukkan bahwa FOMO tidak lagi sekadar tren sesaat, tapi telah menjadi bagian dari gaya hidup digital masyarakat urban.
Dari Antrean Boneka ke Berburu Emas
Masih segar dalam ingatan saat ratusan orang mengular di depan restoran demi boneka edisi terbatas. Beberapa bahkan rela datang sejak subuh, membawa kursi lipat, bekal makanan, hingga menyewa joki antre.Â
Begitu gerai dibuka, suasana berubah jadi hiruk-pikuk: ada yang berebut, ada yang kecewa karena kehabisan, dan tak jarang yang langsung menjual ulang boneka itu dengan harga berkali lipat di marketplace.
Fenomena ini bukan terjadi sekali dua kali. Setiap kali ada produk edisi terbatas, terutama yang dipoles dengan unsur nostalgia atau karakter populer, gelombang antusiasme langsung menyapu.Â
Tapi menariknya, mayoritas pembeli bukanlah anak-anak. Justru orang dewasa milenial dan gen Z yang paling aktif berburu. Mereka tak hanya melihat barang tersebut sebagai koleksi, tapi juga sebagai simbol eksistensi, bahkan investasi.