Dulu, usia 20-an sering disebut sebagai masa emas untuk mencoba banyak hal. Masa penuh energi, ambisi, dan kebebasan.
Ini adalah fase hidup yang penuh eksplorasi pindah-pindah kerja, gonta-ganti passion, membangun jejaring, bahkan mencoba usaha sendiri. Banyak yang bilang, “Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
Namun, realita di lapangan tak selalu seindah narasi itu. Banyak anak muda justru merasa kehilangan arah, tertekan dengan tuntutan hidup, dan cepat lelah secara mental maupun fisik.
Di balik pencapaian-pencapaian yang terlihat di media sosial, ada banyak yang sedang berjuang dalam diam melawan rasa cemas, overthinking, dan kelelahan yang terus menumpuk.
Masa yang seharusnya jadi titik awal kehidupan justru terasa seperti beban besar yang sulit ditanggung.
Fenomena burnout di usia 20-an menjadi pertanda bahwa kita perlu melihat ulang ekspektasi dan tekanan yang diberikan kepada generasi muda.
Apakah ini murni masalah pribadi? Ataukah ada sesuatu yang salah dengan sistem dan budaya yang kita hidupi bersama?
Budaya “Harus Sukses Cepat”
Media sosial sering menampilkan gambaran kesuksesan instan. Seorang anak muda bisa viral dan jadi jutawan hanya lewat satu konten.
Cerita-cerita semacam ini dengan cepat menyebar, menjadi inspirasi sekaligus tekanan yang tak kasat mata.