Di dunia ini, tak ada yang abadi termasuk pekerjaan. Hari ini kita duduk nyaman di kursi kantor, menikmati gaji bulanan, dan sibuk mengejar deadline.
Besok? Bisa jadi kita justru sibuk mencari lowongan kerja baru, menyesap kopi sambil merenungkan nasib setelah menerima surat PHK.
Seperti roda yang terus berputar, kehidupan pekerja penuh dengan ketidakpastian. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa datang kapan saja, tanpa aba-aba.
Ada yang karena perusahaan bangkrut, ada yang terkena efisiensi, dan ada pula yang terpaksa hengkang karena “pergantian strategi manajemen” yang entah apa artinya.
Yang jelas, bagi pekerja, PHK sering kali menjadi pukulan telak, terutama jika belum ada cadangan finansial atau rencana cadangan.
Namun, di tengah badai PHK, ada satu harapan yang sering kali menjadi penyelamat bagi mereka yang kehilangan sumber penghasilan: PKH, alias Program Keluarga Harapan.
Dua singkatan yang sekilas mirip ini sebenarnya memiliki makna yang sangat bertolak belakang. PHK membuat orang kehilangan penghasilan, sementara PKH justru menjadi bantuan bagi mereka yang sedang kesulitan.
Di sinilah ironi kehidupan terjadi ketika seorang pekerja yang dulu bangga dengan penghasilannya kini harus berjuang untuk mendapatkan bantuan sosial.
PHK dan PKH, dua sisi kehidupan yang tak jarang saling bersinggungan, menjadi simbol perjalanan naik-turun yang harus dihadapi banyak orang.
Lalu, bagaimana sebenarnya hubungan antara keduanya? Dan bagaimana cara bangkit setelah mengalami PHK tanpa harus sepenuhnya bergantung pada PKH?