"Pernahkah kamu membuka ponsel untuk sekadar mengecek berita, lalu tanpa sadar menghabiskan waktu berjam-jam membaca hal-hal negatif?"
Tanpa disadari, kita terus menggulir layar, berpindah dari satu berita buruk ke berita lainnya tentang krisis ekonomi, konflik global, bencana alam, hingga kontroversi di media sosial. Semakin banyak yang kita baca, semakin sulit untuk berhenti, seolah-olah ada dorongan untuk terus mencari tahu, meskipun informasi tersebut hanya menambah rasa cemas dan stres.
Fenomena ini dikenal sebagai doomscrolling, kebiasaan mengonsumsi berita negatif secara berlebihan tanpa bisa mengontrolnya. Di era digital yang serba cepat, kita dibanjiri informasi dari berbagai platform, dan sering kali berita buruk lebih menarik perhatian dibandingkan berita baik.Â
Algoritma media sosial pun semakin memperburuk kebiasaan ini dengan terus menyajikan konten yang memicu emosi, membuat kita semakin terjebak dalam lingkaran konsumsi berita yang tidak berujung.
Doomscrolling tidak hanya menghabiskan waktu, tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan mental. Rasa cemas, stres, dan bahkan kelelahan emosional bisa muncul akibat paparan berita negatif yang berlebihan.Â
Namun, jika kita sadar akan pola ini, mungkinkah kita bisa keluar dari jebakan doomscrolling dan mulai menggunakan teknologi dengan lebih bijak?
Di era digital saat ini, doomscrolling menjadi kebiasaan yang sulit dihindari. Setiap hari, kita disuguhkan aliran berita tanpa henti mulai dari bencana alam, konflik global, krisis ekonomi, hingga drama sosial yang viral di media.Â
Semua itu terus bermunculan di layar ponsel, dan tanpa sadar, kita terpancing untuk terus menggulir, membaca, dan mencari tahu lebih banyak, meskipun informasi tersebut hanya menambah kecemasan.
Salah satu alasan utama kenapa doomscrolling begitu adiktif adalah cara kerja algoritma media sosial. Platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok dirancang untuk menampilkan konten yang paling menarik perhatian pengguna.Â
Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa berita buruk lebih cepat menyebar dan lebih sering diklik dibandingkan berita positif. Akibatnya, semakin banyak kita membaca berita negatif, semakin banyak pula konten serupa yang disajikan oleh algoritma menciptakan lingkaran kecanduan yang sulit dihentikan.