Kekasih, pertama hendak kusampaikan padamu tentang ketidakberdayaanku menghadapi keramaian yang penuh luka dan liku manunipulatif. Itulah sebabnya aku lebih memilih menulis untuk setidaknya meminimalisir manipulatifku yang sering kelewat garang. Lebih baik, izinkanlah aku menyebutnya 'hipokrit'. Demikianlah yang kudapati saat ini, Kekasih. Manusia-manusia yang kujumpai di sini tak perlu kujelaskan padamu bagaimana.Â
Aku pun tak merasa lebih baik dari satu pun mereka. Setan berkali-kali lipat lebih ahli dan cendekia dariku. Mereka diusir dari sorga hanya karena lebih baik dari Adam. Tahulah kau pasti mereka secara asal penciptaan kentara lebih baik. Adam dicipta dari tanah, sedang setan dicipta dari api. Mana yang lebih kuat antara api dan tanah? Wallahu a'lam. Padahal bila ditilik dan dikaji, apa salah setan yang membandingkan asal muasal penciptaan? Tapi salahkah setan dalam prespektifmu? Jelaslah tidak, Kekasih. Itu adalah sunnatullah: ketetapan Allah Swt. Usah kau hakimi setan salah dan keliru. Itu bukan urusanmu. Itu urusan Allah Swt.Â
Kedua, ingin kusampaikan tentang kesepianku dalam menulis apapun. Menulis itu soal apa, Kekasih? Entahlah, aku pun tiada tahu jawabnya. Aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar tentang itu. Perasaan tak perlu dipanjanglebarkan di sini, bukan? Perasaan adalah sisi manusia yang tak satupun seseorang tahu. Hanya Allah yang dapat menilainya. Jangan sekali-kali kau hakimi seorang pun menurut penilaianmu, Kekasih. Itu urusan Allah Swt.Â
Tahulah pasti kau bahwa seorang wanita yang selama hidupnya melacur dan melonte diselamatkan oleh Allah sebab memberi minum pada anjing yang menjulur-julurkan mulutnya karena kehausan.
Wallahu a'lam, Kekasih. Semoga bahagia selalu menyertaimu di manapun, kapanpun, dan bagaimanapun. I love you, Kekasih.