Oleh:
Muhammad Amin Alfazli, S.T
Dia hanya berdiri diam di depan saya. Di tangannya, raport yang penuh nilai merah. Tapi bukan itu yang membuat hati saya runtuh...
Cerita yang Tak Saya Duga
Namanya Aldi (nama samaran). Siswa kelas X yang nyaris tidak pernah terlihat menonjol. Ia pendiam, jarang bertanya, apalagi mengangkat tangan ketika saya melemparkan soal. Sejujurnya, saya pun tidak pernah benar-benar mengenalnya lebih dalam. Sampai hari pembagian raport itu datang.
Saat wali kelas membagikan raport , saya melihat dari kejauhan Aldi hanya menatap buku nilainya dalam diam. Tak ada ekspresi. Teman-temannya mulai saling menunjukkan hasil mereka, beberapa bersorak gembira, beberapa lain mengeluh. Aldi? Ia memeluk raport itu erat-erat, lalu berjalan pelan keluar ruang kelas. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Rasa penasaran saya tumbuh. Setelah beberapa jam berlalu dan sekolah mulai sepi, saya menemukannya di pojok perpustakaan — sendiri. Ia menulis sesuatu di sobekan kertas. Dengan suara lirih, saya mendekat dan bertanya, “Kamu kenapa, Aldi?”
Nilai Bukan Satu-satunya Luka
Aldi menunduk. Matanya basah, tapi ia menahannya agar tak jatuh. “Saya mau keluar sekolah, Pak,” katanya. “Bapak pasti kecewa... saya nggak pintar.” Lalu ia sodorkan raport nya. Dari delapan mata pelajaran utama, enam di antaranya bernilai di bawah KKM. Jujur, saya juga terkejut.
Namun sebelum saya sempat bicara, Aldi membuka cerita. Ayahnya baru saja kehilangan pekerjaan, ibunya sudah lama meninggal dunia. Ia kini membantu neneknya berjualan lontong di pasar sebelum berangkat sekolah, dan sepulang sekolah membantu cuci piring di warung tetangga.