Dewasa ini, transportasi umum sering digunakan oleh masyarakat umum untuk kebutuhan sehari-hari karena harga yang murah dan aksesibilitas yang mudah. Namun ketersediaan moda transportasi umum belum mampu menjamin keselamatan dan kenyamanan para penggunanya. Sering terjadi pelecehan seksual khususnya pada kaum hawa (wanita). Survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) dari 25 November - 10 Desember 2018 mencatat sebanyak 46,8% responden pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Disimpulkan juga bahwa masing-masing 5 dari 10 dan 2 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di transportasi umum (Detik, 2019).
Lalu Koalisi Ruang Publik Aman juga melanjutkan penjelasan hasil surveinya dengan menunjukkan ada 5 moda transportasi umum yang sering terjadi pelecehan seksual yaitu Bus, Angkot, KRL Commuterline, Ojek Online dan Ojek Konvensional dengan angka tertinggi sebanyak 35,8% responden mengalami pelecehan di Bus. Pelecehan yang sering terjadi di transportasi umum dilakukan dalam berbagi bentuk seperti siulan/suitan, suara kecupan, komentar atas tubuh, serta komentar seksual yang gambling, seksis dan rasis. Pelecehan lainnya yang terjadi seperti main mata, difoto secara diam-diam, diintip, diklakson, gestur vulgar, dipertontonkan masturbasi publik, dihadang, diperlihatkan kelamin, didekati dengan agresif, dikuntit, disentuh, diraba hingga digesek dengan alat kelamin.
Pelecehan seksual adalah interaksi seks yang tidak diinginkan dan membahayakan penerimanya, termasuk interaksi verbal. Pelecehan bisa terjadi dimana saja, seperti di tempat kerja, sekolah hingga tempat umum seperti moda transportasi. Tetapi istilah ini tidak sepenuhnya dipahami, dan salah satu kontribusi psikologi adalah analisis maknanya yang dimiliki oleh orang yang berbeda, terutama karena ini dibandingkan dengan definisi hukum pelecehan seksual (Frazier, Cochran, & Olson tahun 1995 dalam Fulero, 2009). Psikologi juga dapat berkontribusi untuk memahami kondisi dimana pelecehan terjadi dan kesadaran tentang apa yang menentukan pelecehan seksual akan ditegakkan.
Salah satu kontribusi psikologi pada kasus pelecehan seksual ialah dari Pryor, Giedd dan Williams (1995) mengembangkan model perilaku sosial Lewinian yang merupakan fungsi dari individu dan lingkungan. Pelecehan seksual merupakan perilaku sosial juga yang beberapa orang lakukan dalam suatu waktu. Â Skala ini bernama Likelihood to Sexually Harass (LSH). Pryor pun memiliki kesimpulan bahwa pelecehan seksual akan lebih mungkin terjadi jika:
Mereka cenderung percaya tentang mitos mengenai pemerkosaan, dan umumnya lebih agresif secara seksual.
Mereka menjelaskan bahwa pria secara stereotip harus lebih kuat dan mandiri secara mental, emosional dan fisik. Mereka menghindari kegiatan yang secara stereotip feminim. Intinya, mereka melihat dirinya sebagai hipermaskulin.
Mereka berpikir bahwa wanita adalah objek seksual, dan mereka mencari pembenaran atas aksi yang orang lain pikir sebagai pelecehan seksual. Namun mereka juga sadar atas kendala situasional dari perilaku menyimpangnya.
LSH akan memiliki skor tinggi pada subjek yang berpikir bahwa perilaku melecehkan akan membawa kenyamanan dan tidak mengganggu. Kesaksian Ahli Psikologi dan Pengambilan Keputusan oleh Juri dalam Kasus Pelecehan Seksual. Dalam persidangan, kesaksian ahli psikologi digunakan baik oleh tim penuntut maupun pembela. Pada umumnya kesaksian ahli digunakan jaksa penuntut untuk mengeneralisir hasil studi terhadap kasus. Lain halnya dengan penuntut, pengacara tersangka umumnya berargumen bahwa hasil studi yang diberikan saksi ahli tidak berlaku untuk kasus yang ia bela.
Kemudian untuk kejadian pelecehan bisa dilakukan penanganan secara psikologis pada korban berupa pendampingan, lalu untuk pelaku diberikan reinforcement negatif berupa sanksi dan bisa juga memberikan psikoedukasi pada para pengguna transportasi umum agar tidak melakukan perbuatan tidak menyenangkan khususnya mengenai pelecehan seksual.
Sumber :
Fulero, S. M., & Wrightsman, L. S. (2009). Forensic Psychology: Third Ed.