Mohon tunggu...
Muhammad Adib Alfarisi
Muhammad Adib Alfarisi Mohon Tunggu... Penulis - sang perantau

"Menulis untuk mengabadikan sebuah tulisan melalui karya-karyanya, membaca, menulis, berdiskusi".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Geliat Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita-cita dan Penguasa

16 Oktober 2020   10:50 Diperbarui: 16 Oktober 2020   11:13 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di awal bulan Oktober ini diberitakan sejumlah daerah mengatakan aksi melihat ketidakadilan dimata hukum NKRI yang menjadi sepertinya bulan berdarah. Kala itu pengesahan UU cipta kerja di sahkan oleh DPR RI dan sejumlah partai politik yang menyetujuinnya hingga menolah dalam sidang paripurna hanya “Fraksi Demokrat dan PKS”. Ini menjadi sebuah pertimbulan pertanyaan bagi masyarakat di Indonesia khususnya kesejahteraan para buruh bagaimana ingin untung malah buntung, banyak terjadi kontroversi yang dapat sejumlah investor asing berdatangan untuk membuka lahan dan mempekerja buruh semena-menanya.

Terjadinya Regulasi atau undang-undang yang mencakup isu atau topik dalam suatu penciptaan hukum. Yakni banyak terjadi “kontroversi dan kebablasan” di omnibus law ini padahal hukum yang dibuat untuk semua peraturan yang terdapat tumpang tindihnya norma antara satu dengan yang lainnya. Bisa saja bahwa Omnibus law ialah UU baru yang memuat beragam substansi aturan yang keberadaannya merevisi atau mengubah beberapa UU sekaligus.

Pada Oktober 2019 sialam Presiden Jokowi menyebutkan “bahwa omnibus law akan menyederhanakan

kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang, sehingga alasan pemerintah membuat omnibus law lantaran sudah terlalu banyak regulasi dengan regulasi lainnya saling tumpang tindih dan menghambat akses pelayanan publik serta kemudahan berusaha, sehingga membuat percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, ujarnya”.

UU Bagi Penguasa

Secara konsep Omnibus law mumpuni terhadap tumpang tindihnya regulasi, namun  secara perencanaan Negara terhadap konsep omnibus law di Indonesia perlu diperhatiakan dan perjelas muarahnya daan memberikan efek bagi masyarakat ini. Sebab aspek yang ingin di ubah berkaitan dengan kepentingan konglomerat bahkan keutungan bagi penguasa juga, dan mirisnya yang dapat menggrogoti kepentingan hidup orang banyak. 

Terkait ini juga konsep omnibus law tidak sesuai dengan sistem hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia, pasalnya di dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diperbaharui menjadi UU No 15 tahun 2019 yang tidak mengatur mekanisme tentang omnibus law, sehingga semestinya pemerintah dapat membertimbangkan dan memperjelas arah beberapa UU yang akan direvisi melalui konsep omnibus law.

Ini bagian dari pada cita-cita masyarakat untuk dapat terselesainya beberapa peraturan yang saling berbenturan.Tetapi hal yang fatal jika bagian dari cita-cita tersebut justru disuguhi oleh kepentingan kaum elite bahkan penguasa juga dapat jatahnya, misalnya penghapusan pidana terhadap pengusaha, seolah-olah manusia tidak lagi sama dimata hukum, kemudian terjadinya merusak lingkungan hidup disektor manapun baik itu perizinan akibat dimudahkannya tanpa memperhatikan dampak lingkungan, dihapuskannya hak-hak buruh semisal hak jaminan sosial dan meminggirkan kaum perempuan yang tidak diakomodir masa haid dan masa hamil dan dihapuskannya pesangon.

Maka jelas bukan lagi solusi terhadap masalah yang ada tetapi menambah masalah baru. Apalagi dalam perumusan kebijakan tersebut tidak melalui dan melibatkan partisipasi publik. Karena bagaimanapun peraturan atau kebijakan yang ingin dibuat oleh pemerintah tanpa keterlibatan publik dan mempertimngkan keinginan publik, maka UU atau kebijakan tersebut perlu dicurigai adanya keuntungan bagi penguasa.

Rezim Oligarki Membuat Rakyat Menderita

“Demokrasi kita sudah terlalu kebablasan”. Selanjutnya Presiden Jokowi mengatakan, “praktik penyimpangan demokrasi politik telah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrim seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, terorisme serta ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Penyimpangan praktik demokrasi, Jokowi memisalkan adanya politisasi suku, agama, dan ras, ucapnya”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun