Mohon tunggu...
Muhammad Yunus
Muhammad Yunus Mohon Tunggu... profesional -

Saya Mencintai Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aspek Pidana Dalam Undang-undang KIP

16 April 2013   12:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:07 3715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbitnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) merupakan peluang bagi pelaksanaan sistem kenegaraan kita menuju demokrasi yang lebih substantif. Setiap peluang tentunya memerlukan sikap yang responsif untuk pemanfaatannya, sikap tersebut adalah suatu keniscayaan agar peluang menjadi tak sia-sia. Peluang dalam UU KIP ini secara sederhana dapat digambarkan memiliki dua sisi; sisi pertama adalah peluang bagi pemerintah atau badan publik untuk lebih bersikap terbuka dalam mengelola pemerintahan, sisi kedua adalah peluang bagi warga negara untuk lebih leluasa mengakses setiap informasi yang dikelola oleh pemerintah atau badan publik lainnya.

Menurut sifatnya, hal yang diatur dalam UU KIP sebagian besar termasuk dalam ranah hukum publik, itu artinya substansi dari UU KIP ini lebih ditujukan untuk melindungi kepentingan umum. Salah satu dasar dari masuknya UU KIP dalam ranah hukum publik dapat dilihat dari bagian menimbang dalam UU tersebut, pada bagian menimbang disebutkan bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap Orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional. Dalam hukum publik, setiap peraturan yang dibuat pada hakikatnya tidak hanya mengatur norma (sesuatu yang boleh dan yang dilarang), tetapi juga mengatur sanksi terhadap pelanggaran norma yang ada. Pengaturan terhadap sanksi inilah yang merupakan aspek pidana (delik) dari setiap aturan perundang-undangan yang berlaku.

Terkait dengan wujud dari sanksi pidana di indonesia, rujukan utamanya adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP, jenis pidana terbagi terbagi dalam 2 kategori, yaitu: pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok meliputi; pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan meliputi; pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Terkait dengan hal ini, dalam UU KIP jenis sanksi pidana yang diatur hanya meliputi pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda.

Ketentuan pidana dalam UU KIP diatur dalam Bab XI pasal 51 sampai dengan pasal 57. Hukuman (pidana) terberat dalam UU KIP ini adalah pidana penjara selama 3 tahun dan denda maksimal sebesar Rp. 20.000.000,-. Dari perspektif asas manfaat terhadap adanya pemidanaan, bila dihubungkan dengan pengakuan negara dan konstitusi bahwa hak atas informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia, maka ancaman pidana dalam UU KIP termasuk ringan bila dibandingkan dengan pengabaian hak atas informasi bagi warga negara. Ini mencerminkan bahwa penyelenggara negara (pemerintah) masih bersikap setengah hati untuk mewujudkan adanya keterbukaan informasi yang dapat diakses secara bebas oleh warga negara.

Selain itu, sanksi pidana dalam UU KIP memiliki bias yang cenderung diskriminatif. Hal tersebut tampak dari perbedaan jenis sanksi pidana antara badan publik dan individu (warga negara). Pelanggaran yang dilakukan oleh badan publik hanya dikenakan sanksi pidana kurungan, sedangkan pelanggaran yang dilakukan perorangan (dalam hal ini lebih ditujukan pada pemohon/pengguna informasi) dikenakan pidana penjara. Memang secara prinsip pidana penjara dan pidana kurungan merupakan bentuk perampasan kemerdekaan, namun dalam pidana kurungan terdapat hak-hak istimewa yang tidak ditemui dalam pidana penjara. Salah satu hak istimewa dari pidana kurungan, sebagaimana yang dijelaskan oleh S.R. Sianturi dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (2002: 471), adalah hak pistole yang artinya mempunyai hak atau kesempatan untuk mengurusi makanan dan alat tidur sendiri atas biaya sendiri (Pasal 23 KUHP).

Diskriminasi aspek pidana dalam UU KIP juga tampak dari porsi pemidanaan antara badan publik (penyelenggara negara) dengan perorangan (pengguna informasi). Dari sebanyak lima pasal yang mengatur perihal ancaman pidana, pemidanaan terhadap badan publik hanya terdapat satu pasal (pasal 52) dan empat pasal lainnya (pasal 51, 53, 54, dan 55) lebih ditujukan untuk pemidanaan perorangan (pengguna informasi). Dari komposisi atas subyek pemidanaan dalam UU KIP ini, maka tampak sekali adanya ketidak-seimbangan sanksi antara ”pengelola” informasi dengan ”pengguna” informasi. Padahal, substansi dari UU KIP adalah untuk melindungi hak warga negara untuk menggunakan informasi publik secara bebas dan seluas-luasnya. Fakta ini mengindikasikan bahwa ”tangan kekuasaan” masih sangat dominan untuk mengatur ”arus” informasi publik.

Hal lain yang perlu dikritisi dalam UU KIP adalah tentang sub-ordinasi UU KIP terhadap UU lainnya yang sama-sama bersifat khusus. Dalam pasal 56 UU KIP dinyatakan: Setiap pelanggaran yang dikenai sanksi pidana dalam Undang-Undang

ini dan juga diancam dengan sanksi pidana dalam Undang-Undang lain yang bersifat khusus, yang berlaku adalah sanksi pidana dari Undang-Undang yang lebih khusus tersebut. Dari bunyi pasal 56 ini, secara tersurat dapat dimaknai bahwa apabila ada aturan khusus lain yang ”kebetulan” mengatur hal yang sama dengan yang diatur oleh UU KIP, maka yang berlaku adalah aturan lain tersebut. Semisal, dalam UU Perbankan dikenal dengan adanya ”kerahasian bank”, maka UU KIP tidak dapat mengeliminir kerahasian bank tersebut. Mungkin maksud pembuat UU terkait dengan pasal 56 ini adalah agar tidak adanya tumpang-tindih antara UU yang satu dengan yang lainnya. Namun, dengan memposisikan UU KIP sub-ordinasi terhadap UU khusus lainnya, maka dapat dinilai bahwa kehendak penyelenggara negara untuk mengelola pemerintahan secara terbuka masih bersifat sangat prosedural. Hal ini juga mencerminkan bahwa keterbukaan informasi publik belumlah dianggap cukup penting oleh pembuat UU KIP, dalam hal ini adalah pemerintah dan DPR RI.

Dari aspek tujuan, menurut Prof. Muladi pemidanaan secara teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan hanya sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku, tetapi juga merupakan sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi pidana ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan dalam jangka panjang, baik untuk individual maupun badan publik.

Berdasar pengertian tujuan pemidanaan di atas, maka beberapa hal yang dapat dijadikan pertanyaan sehubungan dengan ketentuan pidana dalam UU KIP meliputi:

(1). Apakah ketentuan pidana dalam UU KIP telah menggambarkan adanya perlindungan terhadap kepentingan umum, dalam hal ini warga negara sebagai pengguna informasi;

(2). Apakah ketentuan pidana tersebut memiliki peluang yang besar untuk mencegah agar badan publik tidak melakukan pelanggaran atas segala sesuatu yang telah menjadi kewajibannya;

(3). Apakah sanksi dalam UU KIP mampu untuk memberikan efek menakuti (detterence) bagi semua pihak agar mampumengelola dan menggunakan informasi secara bertanggung-jawab dan taat asas.

Beranjak dari ketiga pertanyaan di atas, maka seharusnya implementasi terhadap ketentuan pidana dalam UU KIP harus mampu menjawabnya. Walau pada faktanya, berdasar pengalaman penulis dalam mengakses informasi publik berupa dokumen Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Bandarlampung, UU KIP masih belum dijadikan rujukan bagi badan publik (sekolah) dalam hal mengelola informasi. Bahkan yang cukup ironis, sekolah sebagai badan publik, sebagian besar sama sekali belum mengetahui perihal keberadaan UU KIP. Kenyataan ini menandakan bahwa kelemahan terbesar terhadap berlakunya UU KIP adalah kurang sosialisasi oleh pengambil kebijakan (pemerintah dan DPR) dalam hal menyebarluaskan keberlakuan UU KIP.

Pada akhirnya, sama seperti implementasi UU lainnya, upaya sadar terhadap proses penegakan hukum menjadi kunci bagi kemanfaatan sebuah aturan perundang-undangan. Tinggi atau rendahnya ancaman pidana dari sebuah aturan, untuk konteks indonesia, sepertinya bukanlah hal yang paling menentukan bagi terwujudnya perlindungan terhadap kepentingan umum. Sudah sedemikian banyak UU yang memiliki ketentuan pidana dengan ancaman sanksi yang berat, namun tetap saja belum mampu mengubah keadaan negeri ini menjadi lebih baik. Untuk itu, diperlukan usaha bersama dari seluruh komponen negara untuk mendorong terwujudnya aparat penegak hukum yang berkualitas dan berintegritas. Tanpa adanya aparat penegak hukum yang memiliki kualitas dan integritas, maka semua aturan hukum yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum akan menjadi sia-sia.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun