Mohon tunggu...
Muhammad Ichsan
Muhammad Ichsan Mohon Tunggu... Freelancer - Menyukai seni sastra, sosial dan budaya

http://ichsannotes.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Valentine, dari Mitos Menuju Arketipe

13 Februari 2016   17:46 Diperbarui: 13 Februari 2016   18:25 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap perayaan jenis apapun juga adalah nostalgia yang arketipal oleh suatu masyarakat berkebudayaan. Demikian pula kiranya dengan perayaan tahunan Hari Valentine pada tiap medio Februari. Peristiwa ini menandai suatu upaya dari masyarakat untuk sejenak melihat ke belakang, masa lampau yang tidak lagi hadir kini, mengimajikan momen berkesan khusus dalam jarak rentang waktu kini dan dulu, lalu menghadirkannya kembali dengan berbagai alasan tertentu yang melatar-belakanginya.

Antropolog Mircea Eliade mengaitkan kegemaran manusia menyelenggarakan berbagai jenis perayaan dengan konsep archetype. Menurut Eliade, pada pandangan manusia tradisional, dalam setiap hal terdapat sebuah model yang dianggap sebagai bentuk atau keadaan paling ideal umat manusia. Perayaan dipandang sebagai cara ”membawa kembali” sosok ideal/ model yang asali (exemplary model) dari masa lampau dalam rangka dijadikan acuan hidup.

Hari Valentine, 14 Februari, dapat juga dipandang sebagai upaya orang-orang mengidealisasikan gambaran sosok panutan dari diri St. Valentine, yang layak dijadikan contoh dalam konteks pemaknaan cinta di kehidupan nyata. Dengan mengenang hari kematiannya yang tragis karena ketulusan cinta dalam hatinya pada masa lampau, ini membantu orang-orang mengidentifikasikan diri baik secara individual maupun kolektif ketika bertingkah laku atas nama cinta dan mencintai. Ada romantisme ideal yang ingin dicari dengan perayaan Valentine. Sebuah nostalgia melankolis yang bersedia menenggelamkan diri masuk ke masa lalu karena kebutuhan menghayati makna cinta, yang barangkali pengertiannya telah mengering di masa kini akibat perubahan zaman yang kian akseleratif dan serba pragmatis.

Manusia mencari kebijaksanaan masa lampau melalui perayaan-perayaan. Sebuah upaya menemukan pembanding untuk memahami apakah dari tiap laku-perbuatannya dapat dikatakan bijaksana, luber dengan ketulusan cinta. Maka, sosok St. Valentine pun merasa perlu dihidupkannya kembali melalui peringatan hari kematiannya. Ini tidak peduli apakah eksistensinya faktual historis atau sekadar mitos belaka, yang bergerak maju melalui pelegendaan, mengkultus melalui peran idealistiknya berkaitan dengan makna cinta tulus dalam arketipe.

Perayaan Hari Valentine ini sulit hilangnya selama manusia modern tetap berada dalam kegamangan memahami pengertian cinta yang tulus, walaupun ditentang gerakan pemurnian (puritanisme) yang timbul akibat dari kontradiksi unsur-unsur dogmatis tertentu.

Seyogyanya perayaan Hari Valentine mesti dilihat dengan sikap toleran bila itu menunjuk pada upaya masyarakat yang berkeinginan hidup harmonis dalam cinta sesama, tanpa bersinggungan secara keras karena berbeda pandangan spiritual. Jika tidak mau merayakannya silakan saja, dan sebaiknya tidak bersikap agitatif dogmatis yang akan memecah belah persatuan bangsa.

Alangkah indahnya hidup dalam ketulusan cinta, saling menyayangi antar sesama tanpa memperuncing perbedaan dogma ideologis masing-masing. Setuju? [M.I]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun