Mohon tunggu...
Muhammad Ichsan
Muhammad Ichsan Mohon Tunggu... Freelancer - Menyukai seni sastra, sosial dan budaya

http://ichsannotes.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Valentine, dari Mitos Menuju Arketipe

13 Februari 2016   17:46 Diperbarui: 13 Februari 2016   18:25 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tiap medio Februari begini, ada satu perayaan yang ditengarai sebagai upaya mengapresiasi cinta dan kasih sayang. Perayaan itu oleh publik lazimnya dikenal luas sebagai Hari Valentine alias Hari Kasih Sayang, yang persisnya jatuh pada 14 Februari.

Sebagai peristiwa khusus, tentunya Hari Valentine tersebut menandai suatu momen tertentu yang berkaitan dengan cinta dengan segenap efek melankoli – romantik yang melatar-belakanginya. Sehingga dengan berbagai bentuk ekspresi tersendiri, sejumlah orang khususnya kawula muda merasa menemukan “momen yang tepat” untuk mengungkapkan ekspresi cintanya yang bergairah buat sang kekasih pada hari itu.

Bagaimana bisa 14 Februari mendapat kehormatan sebagai Hari Kasih Sayang, bila dibanding dengan 364 hari yang lain setiap tahunnya? Apakah ada peristiwa tertentu di masa lampau yang bergerak sebagai mitos atau kenyataan lapis kedua yang menubuatkan 14 Februari sebagai Hari Kasih Sayang? Mari kita telusuri bersama.

Valentine yang dimitoskan

Suatu peristiwa biasanya ditandai oleh waktu sebagai interval dimana ia berlangsung. Di dalamnya, terjadi drama kehidupan manusiawi yang menghasilkan akibat tertentu. Dan, akibat ini diproduksi oleh pelbagai sebab yang merelasikannya (baik itu hubungan timbal balik perorangan, individu dengan kelompok sosialnya, ataupun hubungan seorang yang bersifat resiprokal dengan sistem sosial – politik dan kebudayaan yang melingkupinya).

Dalam konteks ini, konon pada masa pemerintahan Kaisar Romawi Claudius II (270 M, di akhir abad ke-3) hiduplah seorang pendeta yang bernama St. Valentine. Sang pendeta ini, menurut legenda, bertentangan dengan penguasanya pada waktu itu.

Ketika Claudius II berpandangan bahwa pasukan kerajaan yang kuat dalam peperangan adalah mereka yang terdiri dari para laki-laki lajang daripada yang berkeluarga, sang Kaisar pun mengeluarkan maklumat yang melarang para penduduk laki-laki untuk menikah. Sebab, Claudius II akan merekrutnya sebagai ”mesin perang hidup” yang tanpa rasa takut, atau guyah pendiriannya pada saat berada di medan laga, karena tak ada orang dikasihi yang akan ditinggal mati.

St. Valentine melihat ini sebagai kebijakan politik yang amat otoriter. Ia menganggapnya sebagai ”despotisme” dari tangan kekuasaan dingin raja yang lalim. Ia melihat bahwa laki-laki yang mencintai kekasihnya ”wajib” disatukan dalam ikatan yang sakral. Bukannya dicegah demi kepentingan rajanya yang haus kekuasaan dan gila perang. Maka, diam-diam ia tetap melaksanakan upacara pernikahan bagi tiap pasangan yang saling mencintai. Namun, pada akhirnya mata-mata Claudius II mengendus gelagat pembangkangannya. Valentine pun ditangkap dan dipenjarakan.

Saat dipenjara ia berkenalan dengan seorang gadis yang merupakan anak dari salah satu penjaga. Gadis itu penyakitan, penglihatannya terganggu dan menerbitkan iba di hati sang Pendeta. Valentine lalu mengobatinya hingga sembuh. Dan, ia jatuh cinta padanya. Kisah cintanya yang klandestin ini tak berlangsung lama; sebab pada akhirnya ia harus menghadapi vonis hukuman mati dari Claudius II. Sehari sebelum diriya dieksekusi, ia mengirim surat cintanya yang amat melankoli dan syahdu dengan penutupnya yang berbunyi ”Dari yang tulus cintanya, Valentine mu.” Surat itu sampai di tangan kekasihnya dan dibaca tepat pada saat hukuman mati dilaksanakan, 14 Februari 270 M.

Peristiwa ini lebih cenderung menjadi legenda. Artinya, ketika status denotatum yang membangunnya lebih mengarah pada sifat fiksional daripada kenyataan faktual historis, maka peristiwa tragis St. Valentine yang berkorban demi cinta tulusnya baik pada kekasih maupun pada sesama manusia (laki-laki yang dilarang menikah pada masa Claudius II), lebih terkesan disampaikan dari mulut ke mulut (ciri utama kisah legenda), diceritakan karena dipandang masih mengandung nilai kebenaran juga. Lalu, bagaimana ini bisa menjadi mitos?

Roland Barthes, dalam Mythologies (1972), menjelaskan bahwa mitos juga meliputi cerita-cerita yang sudah ada sejak zaman kuno. Maka, kita dapat memahami bahwa mitos, di satu sisi bercorak fiksional, tapi pada sisi lain merujuk pada kisah-kisah masa silam, dan mengandung kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun