Mohon tunggu...
Lukasyah
Lukasyah Mohon Tunggu... Freelancer - Catatan Sebelum Mati

Not Lucky Bastard

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bangsa Hipokrit, Mengubur Prestasi Merayakan Sensasi

27 Agustus 2022   09:40 Diperbarui: 27 Agustus 2022   09:43 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sedikit mundur kebelakang, fenomena Citayam Fashion Week setidaknya membuat heboh masyarakat. Riak-riaknya terpancar dari banyaknya informasi yang ditransmisikan baik secara digital maupun mulut ke mulut. Fenomena ini berhasil membuat antusiasme dan rasa penasaran meningkat, khususnya terhadap beberapa tokoh utamanya, yaitu Bonge, Jeje, Kurma, dan Roy. Nama-nama inilah yang menyeruak sehingga dengan cepat, tepat, dan singkat menjadi public figure di masyarakat.

Lebih jauh, Citayam Fashion Week bersama tokoh utamanya menjadi komoditas utama yang dimanfaatkan sebagai momentum meningkatkan engangement beberapa kalangan. Mereka ingin ikut andil untuk dapat meningkatkan pamor dan citranya dengan sensasi yang disediakan. Yap, Citayam Fashion Week berhasil menjadi sensasi besar yang  menjadi stimuli untuk masyarakat datang dan menghadirkan ragam motif. Alhasil, berbagai motif hadir, ada yang dijadikan sebagai sarana hiburan, media marketing, hingga ajang meningkatkan pamor politik. Tak ayal, dari sederet artis, tokoh masyarakat, hingga pejabat publik skala nasional hingga internasional turut memeriahkan momentum ini. Paling fenomenal adalah ketika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama Duta Besar Uni Eropa melenggang berjalan aduhai melewati trotoar sakral Citayam Fashion Week. Terlepas dari pada itu, Citayam Fashion Week telah berhasil menjadi anomali, mendobrak kelas dari cap kampungan tren pinggiran menjadi suatu momen sosial di pusat Ibu Kota.

Akan tetap, fenomena Citayam Fashion Week ini menyimpan suatu ironi menyedihkan. Yap, potret sensasi lebih menggairahkan dibanding prestasi khususnya di bidang pendidikan. Disaat yang bersamaan, segudang prestasi anak bangsa berhasil ditorehkan pada tingkat internasional. Sebagai contoh, pada penyelenggaraan Olimpiade Ekonomi Internasional atau International Economics Olympiad (IEO) 2022, Tim Indonesia bersaing dengan 41 negara dan berhasil meraih 3 medali perunggu dan kontestan terbaik literasi finansial. Selain itu, pada ajang bergengsi Olimpiade Fisika Internasional atau International Physics Olympiad/IPhO, tim Indonesia bersaing dengan 75 negara dan berhasil menyabet 1 medali emas, 3 medali perak, dan 1 medali perunggu. Ada lagi, dalam bidang Astronomi dan Astrofisika, Indonesia meraih 2 emas, 2 perak, dan 5 perunggu pada penyelenggaraan International Olympiad on Astronomy and Astrophysics. Inilah beberapa potret dari sekian banyak pretasi anak bangsa yang luput dari perhatian.

Memang menyedihkan, banyaknya prestasi yang ditorehkan anak bangsa tidak sepada dengan apresiasi yang diberikan. Exposure yang diberikan tidak semasif fenomena Citayam Fashion Week. Apresiasi yang diberikan hanya sebatas formalitas, maju ke depan ketika upacara dan diumumkan bahwa mereka telah berprestasi. Paling jauh, hanya dipanggil Pemerintah Daerah untuk proses pengalungan bunga, dan makan-makan. Ya, hanya itu saja. Selain itu, media pun tidak begitu tergugah untuk meliput mereka, paling-paling hanya satu postingan dari satu sudut pandang. Mungkin karena prestasi anak bangsa tidak menjual untuk diekspos sehingga tidak dapat menghasilkan pundi-pundi yang lebih.

Selain itu, Negara tidak menjadikan bidang Pendidikan sebagai aspek utama dalam upaya pembangunan negara. Jika dilihat dari sisi anggaran saja, jatah anggaran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, hanya menempati urutan ke enam dengan angka sebesar 73 triliun. Jika dibandingkan, angka ini masih kalah dengan Malaysia yang mealokasikan dana sebesar 139 triliun, juga dengan Korea mengalokasikan dana sebesar 1.044 triliun. Hal ini tentu mengkhawatirkan mengingat Pendidikan menjadi aspek utama dalam upaya pembangunan. Negara sedang mengidap penyakit hipokrit, berpura-pura ingin membangun dan memajukan bangsa, tapi mengabaikan aspek utamanya. Sensasi menjadi karakter utama negara, mengubur prestasi merayakan sensasi.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun