Mohon tunggu...
Syukron Albusta
Syukron Albusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - www.dokterspiritual.blogspot.com

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. _Pramoedya Ananta Toer_

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kontroversi "Vaksin Rubella"

24 Agustus 2018   00:43 Diperbarui: 24 Agustus 2018   01:06 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MUI memegang wewenang penuh atas sertifikasi kehalalan "Vaksin Rubella", sebagai lembaga yang mengatas namakan "majelis ulama" di negara tercinta ini, tentu saja tanggung jawab MUI dalam mengeluarkan fatwa boleh tidaknya menggunakan vaksin rubella tidak semudah membalikkan telapak tangan,  MUI mengkaji secara mendalam apa dampak negatif dan positif yang bakal timbul jika tidak dilakukan, dan bagaimana pengaruhnya bagi yang menggunakan vaksin di asfek medis, disini bukan "kehalalan" vaksin yang dipersoalkan tetapi dampak dari vaksin apakah memang sudah lepas atau tidak, karena alasan setiap produk yang dilarang tentu saja mengandung dampak negatif sesungguhnya.

 Pemerintah menyampaikan bahwa kondisi untuk menggunakan vaksin rubella memang sudah gawat dorurat, maka perlu penelitian dan memakan waktu lama untuk menemukan vaksin yang kehalalannya tidak diragukan, disini aspek penyelamatan bangsa dari penyakit yang mematikan harus ditanggapi dengan serius dan cepat, maka kesulitan untuk mendapatkan vaksin yang halal sudah pasti susah dalam jangka waktu dekat. Jika  terlambat maka ditakutkan penyalkit ini menyebar keseluruh penjuru bangsa Indonesia, sedangkan vaksin memiliki fungsi sebagai "protection" .

Dalam hal ini MUI menjadi sorotan penuh bagi masyarakat Indonesia terutama yang beragama Islam, karena mayoritas Islam menjadikan MUI sebagai referensi hukum seputar keislaman, namun menjadi polemik bagi masyarakat terjadi kebingungan bahwa MUI pusat dan MUI daerah berbeda pendapat, MUI pusat membolehkan dengan alasan karena dorurat, sedangkan MUI daerah melarang karena mengandung enzim babi.

Persoalannya,  masyarakat menjadi bingung untuk memilih mana yang benar dan mana yang tidak benar, kemudian  kenapa ada perbedaan di sebuah lembaga yang sama, MUI seharusnya melakukan "ijtihad kolektif" sehingga fatwa ini tidak menjadi perbedaan dan ummat tidak berpecah belah, memelihara persatuan ummat itu sebetulnya juga hal yang urgen dewasa ini, jangan sampai hal ini menjadi simpang siur karena adanya kepentingan-kepentingan yang tidak populer.

Jika dikembalikan kepada pribadi masing-masing, tidak ada persoalan. Karena menggunakan vaksin adalah hak setiap orang dan tidak ada paksaan juga untuk menggunakan atau tidak menggunakannya, tetapi masyarakat ingin ketenangan dan kejelasan dalam sebuah produk hukum dalam Islam, sehingga mereka melakukannya tidak ada rasa keraguan dan kekhawatiran.

Harapan besar, kedepanya vaksin halal secepatnya ditemukan agar ini tidak menjadi persoalan bagi sebagian kalangan, karena taruhannya penyelamatan bangsa dari penyakit dan menggunakan vaksin babi, keduanya memiliki urgenitas, maka dalam hal ini perlu pengkajian lebih dalam dan penelitian detil, sudah berapa persentase  penyakit ini menyebabkan kematian? Apakah itu betul-betul solusi yang ampuh untuk mengatasinya? dan di mana ukuran dorurat tersebut bisa dikatakan "dorurat"?  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun