Mohon tunggu...
Muhammad Ali
Muhammad Ali Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger

Blogger di Pigurafilm dan pedagang buku online: Kafeinbuku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nikah Bisa Meningkatkan Kesejahteraan Lelaki, Yakin?

26 Februari 2021   12:14 Diperbarui: 26 Februari 2021   12:21 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


DALAM artikel yang saya baca, disebutkan bahwa dengan menikah, seorang lelaki akan mengalami banyak perubahan hidup, dua diantaranya adalah tiba-tiba memiliki aset semacam rumah, kendaraan dan hal-hal berupa perabot di dalam rumah yang tak pernah dibayangkannya bakal ada sebelumnya. 

Dan yang kedua, tubuh seorang yang sudah menikah akan sedikit berisi, sebab sudah ada yang perhatikan pola makan dan asupan yang cukup (meski kedengarannya seperti lelucon bila dipikir-pikir). Namun kedua hal tersebut nampaknya memang ada benarnya juga.

Dari kedua alasan tersebut tak mengherankan boleh dikatakan bahwa "dengan menikah nasib hidup seseorang tiba-tiba bisa berubah, Abra kadabra." Beranjak dari anggapan tersebut, saya kemudian mencoba mengulik kisah dibalik fenomena tersebut, apakah benar adanya. 

Penelitian kecil-kecilan saya di mulai dari lingkungan kompleks, beberapa orang saya klasifikasi yang tergolong dalam usia saya atau beberapa di atas maupun di bawa saya yang telah menikah. 

Dari data yang saya kumpulkan, ternyata: lebih banyak yang belum masuk kategori sindrom Abra kadabra. Malah sebaliknya, hidup dengan cara nomaden pindah dari kos satu ke kos yang lain jadi gambaran awal kehidupan mereka. 

Selebihnya lagi, hidup berpayung atap rumah mertua atau tinggal dengan bentuk nebeng ke orangtua. Lagi, lagi, sindrom Abra kadabra, sama sekali jauh dari ekspektasi.

Melihat kejadian pertama tersebut, saya tentunya tercengang, mengapa bisa demikian? Penelitian kecil-kecilan saya kemudian dipindahkan ke teman sepermainan saya sewaktu sekolah. Lagi-lagi, sindrom Abra kadabra sama sekali tak tampak. Malah, hasilnya tak jauh berbeda dengan penelitian pertama.

Kesimpulan saya kemudian sederhana, masalah bukan pada punya ini dan itu, tapi pada pengetahuan dan cara mereka melihat masa depan setelah menikah.

Data ini menarik, sebab, dari hasil wawancara dan tinjauan lokasi, banyak diantaranya sama sekali tidak memiliki gambaran yang jelas tentang mengapa mereka menikah. 

Mereka hanya mengacu pada naluri kecenderungan untuk menikah saja dengan lawan jenis yang menurut mereka menarik. Di lain sisi, mereka sama sekali tak membayangkan bahwa setelah menikah ternyata tanggung ini dan itu bisa saja membuat mereka jungkir balik bekerja bagai kuda.

Hal yang menarik kemudian saya dapatkan pada orang-orang yang menikah di atas umur 30 tahun. Mereka dengan cepat memiliki berbagai aset. Sedangkan hal yang hampir mirip saya dapati pada beberapa teman dan orang-orang di kompleks yang telah memiliki 2 atau 3 anak, mereka mereka pun memiliki kecenderungan yang sama dengan orang yang menikah di atas usia 30 tahun, yakni tampak sejahtera. 

Artinya bahwa, saat baru memiliki satu orang anak, seseorang boleh jadi hidup berbalut perjuangan yang susah untuk tampak sejahtera, seperti dalam sindrom Abra kadabra. Dan baru di saat memiliki anak kedua dan ketiga, rencana untuk pindah dan memiliki rumah sendiri baru akan saja dimulai.

Mungkin benar bahwa dengan menikah akan membuat kita sejahtera, namun semua itu butuh proses. Problemnya adalah semakin cepat kamu berproses dan sadar akan hidup, di saat itulah kehidupan baru dan penuh tantangan baru akan dimulai. 

Sebab, masih banyak orang yang bahkan dengan menikah pun, nasib hidupnya tak berubah. Hidup begitu susah dan penuh perjuangan. Hutang di mana-mana dan meminta banyak hal pada orang lain. 

Hidup bisa begitu tragis. Namun lagi-lagi setragis-tragisnya orang yang menikah dan tetap miskin, lebih tragis lagi orang yang belum menikah dan pengguran -

#KompasianaMuhammadAli

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun