Saya adalah "produk" dari lingkungan yang mengidentikkan politisi dengan kejahatan, kelicikan, dan korupsi. Atas dasar itu, setiap kali orang bertanya apakah saya akan menjadi politisi (hanya) karena status saya sebagai lulusan ilmu politik, saya biasanya merasa gusar. Atau mungkin bukan hanya saya.
Jajak pendapat demi jajak pendapat menunjukkan bahwa masyarakat kita sudah cukup muak terhadap para wakilnya di parlemen, memandang sinis politik, dan memiliki sedikit kepercayaan pada pemerintah untuk memperbaiki masalah-masalah struktural yang ada. Survei Indikator Politik Indonesia (IPI), misalnya, menempatkan partai politik dan DPR sebagai lembaga dengan kepercayaan publik terendah.
Maka tidak mengherankan bila politisi - mulai dari presiden, menteri, senator, anggota parlemen, hingga kepala daerah - sering menjadi bahan olok-olok para pelawak dan satiris di seluruh dunia. Mereka kerap diparodikan sebagai orang jahat, pandir, dan naif, yang sebagian besar memang didasarkan pada perilaku mereka sendiri di dunia nyata.
Pertanyaannya, apakah mereka seburuk itu?
Mari kita mundur ke Februari 2025, saat warganet mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap prospek kerja, pendidikan, dan kehidupan di Indonesia melalui gerakan #KaburAjaDulu. Alih-alih menanggapi substansinya, beberapa pejabat malah melakukan concern trolling dengan meragukan nasionalisme warganet.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan bahkan secara terang-terangan mengabaikan gerakan itu, menganggapnya sekadar tagar biasa dan mengimbau, "[Kalau] mau kabur, kabur ajalah. Kalau perlu jangan balik lagi." Respons seperti ini jelas mengabaikan fakta mendasar pada zaman kita bahwa tagar digital sudah menjadi sarana baru masyarakat dalam menyuarakan aspirasi.
Dan pola respons meremehkan seperti itu telah dan terus berulang pada waktu yang berbeda, dalam konteks yang berbeda, dan oleh aktor yang berbeda. Saat tagar "Indonesia Gelap" muncul, Ketua Dewan Ekonomi Nasional dengan enteng membalas, "Yang gelap kau, bukan Indonesia."
Begitu pula saat revisi UU TNI dikhawatirkan akan membangkitkan (atau bagi beberapa pengamat, memperkuat dan menjustifikasi) "dwifungsi militer" ala Orde Baru, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) dan petinggi militer menuduh pengkritik sebagai "penyebar hoaks" dan "otak kampungan".
Sikap kurang patut PCO juga tampak dalam responsnya atas teror kepala babi yang dialami Tempo. "Sudah dimasak saja," ujarnya. Bahkan jika pernyataan ini dimaksudkan sebagai gurauan, momentumnya jelas salah dan tidak disertai dengan jawaban berbobot sama sekali.
Beberapa waktu lalu, Menteri Kebudayaan menunjukkan sikap nir-sensitif serupa dengan menyanggah pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998 sebagai rumor. "Pemerkosaan massal kata siapa? Enggak pernah ada buktinya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan," katanya dalam wawancara yang ditayangkan di siaran YouTube media IDN Times pada Rabu, 11 Juni 2025.