Penelitian ilmiah membutuhkan tidak hanya komitmen kuat dari orang-orang yang berdedikasi untuk memajukan ilmu pengetahuan, tetapi juga biaya yang cukup besar dari waktu ke waktu.
Saat ini, ekosistem penelitian di Indonesia, yang sejak awal sudah tersendat oleh kecilnya dana riset, menghadapi tantangan lebih lanjut dengan adanya kebijakan "efisiensi" anggaran.
Dalam seratus hari pertama pemerintahannya, Presiden Prabowo memicu polemik dengan mengesahkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang bertujuan untuk menghemat lebih dari Rp306 triliun melalui pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga.
Sulit untuk menilai apakah pemotongan anggaran ini dapat dikatakan sebagai langkah penghematan, meskipun media-media arus utama membingkainya seperti itu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim bahwa langkah ini tidak akan mengurangi total anggaran belanja pemerintah pada tahun 2025, hanya saja alokasinya berubah mengikuti agenda pemerintahan baru.
Presiden Prabowo juga mengirim sinyal serupa dalam banyak kesempatan, di mana hasil "efisiensi" anggaran tersebut akan digunakan untuk membiayai janji-janji kampanyenya (disebut "Asta Cita"), termasuk program makan bergizi gratis (MBG).
Meskipun belum diketahui secara pasti program-program apa yang diprioritaskan, cukup jelas bahwa riset bukan salah satunya.
Hal itu dapat dilihat dari pemangkasan anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) yang cukup besar, mencapai Rp22,5 triliun dari total anggaran tahun 2025 sebesar Rp57,6 triliun.
Pada saat yang sama, anggaran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga dipotong sebanyak Rp1,429 triliun atau 24,46% dari total pagu anggaran BRIN sebesar Rp5,842 triliun.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko sebenarnya sudah menegaskan bahwa pemotongan anggaran tersebut tidak akan mengganggu kegiatan riset. Namun, pembelaan ini tidak menyelesaikan masalah.