Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Machiavelli dan Wajah Buruk Politik

30 Juni 2022   05:30 Diperbarui: 30 Juni 2022   05:32 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik kerap dihubungkan dengan kelicikan dan kemunafikan. Benarkah demikian? | Ilustrasi oleh Mustafa via Pixabay

Politik biasanya dianggap sebagai kata "kotor". Bagi sebagian orang, kata "politik" dengan sendirinya memunculkan gambaran-gambaran kejahatan, kelicikan, kebohongan, dan bahkan kekerasan.

Konsekuensi minimalnya, para politisi menjadi pihak yang banyak menanggung beban kritik. Dalam asosiasi umum, "politisi" kerap disamakan dengan pribadi yang pembohong, korup, egois, dan tidak dapat dipercaya.

Tidak ada yang baru dengan anggapan seperti itu.

Pada 1775, Samuel Johnson menolak politik sebagai "nothing more than a means of rising in the world". Kemudian pada abad ke-19, sejarawan AS, Henry Adams, menyimpulkan politik sebagai "the systematic organization of hatreds" (Heywood, 2019, hlm. 35).

Kendati begitu, meskipun fenomena ini sudah sangat klasik, belakangan kita dapat merasakan betapa sikap antipati terhadap politik semakin menyebar dan lebih berapi-api. Awan tebal tengah menggantung di atas politik.

Apakah benar politik menjadi biang masalah, bukan solusi?

Krisis Politik

Legitimasi demokrasi setidak-tidaknya dapat diukur dalam tiga hal: setiap orang yang memenuhi syarat memiliki hak untuk memilih, orang yang berhak memilih punya keinginan untuk memilih, dan tidak ada yang mengutak-atik suara (Flinders, 2007).

Dengan demikian, demokrasi kita dapat dikatakan tidak memiliki legitimasi jika, selengkap apa pun aturan formal tentang hak dipilih dan hak memilih, masyarakat tidak memedulikan semua itu. Secara gamblangnya, mereka memutuskan untuk golput.

Tentunya, persepsi bahwa politik sedang dalam krisis muncul tidak hanya dari kekhawatiran tentang sikap apatis masyarakat, tetapi juga dari bukti meningkatnya sinisme, dan bahkan kemarahan, terhadap partai politik dan politisi arus utama.

Kekecewaan politik telah berpindah dari fase yang didominasi "pasif", yang lumrahnya berkaitan dengan penurunan tingkat partisipasi politik, ke fase yang lebih "aktif", khususnya perihal kebangkitan gerakan "anti-politik".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun