Itu berarti, kita dituntut untuk turut mendukung penyempurnaan manusia dalam hidupnya, sehingga dia bisa berkembang, berkebudayaan, berbahagia, dan bergerak secara merdeka.
Mengutip Voltaire, "Pikirkan untuk diri sendiri dan biarkan orang lain menikmati hak istimewa untuk melakukannya juga." Itulah humanisme; itulah netizen Pancasilais; itulah Demokrasi Pancasila.
Di luar itu, sebenarnya saya tidak bermaksud supaya kita, terlepas dari otonomi individu, untuk bertanya pada diri sendiri, "Apakah aku sudah cukup Pancasilais?" Kenyataannya, entah ia Pancasilais sejati atau tidak sama sekali, tugasnya tetaplah sama: mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian, termasuk di jagat digital.
Saya tidak mengarahkan pada kondisi ideal A-Z yang perlu kita wujudkan bersama. Apa yang penting, kita telah sepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman berperilaku, dan kita mesti mengimplementasikannya sebaik-baiknya.
Sebagaimana sebongkah mutiara yang karam di dasar laut: dalam kegelapan dan derasnya arus, dia tidak bertanya, "Apakah aku sudah cukup bersinar?" Dia hanya bersinar, kemudian semesta dengan sendirinya tidak bisa mengelak lagi bahwa dia memang begitu memesona.
Karenanya, kesimpulan saya tidak terlalu muluk. Saya tidak mengharapkan (akan) ada orang yang mengaku Pancasilais di jagat digital, atau sebut saja "netizen Pancasilais". Saya hanya mencari mereka yang berkelakuan manusiawi, sebab dengan sendirinya mereka adalah netizen Pancasilais.
Pada akhirnya, Hari Lahir Pancasila seyogianya tidak dijadikan sekadar peringatan sejarah Pancasila belaka, justru yang terpenting ialah sebagai momen evaluasi dan refleksi tentang sejauh mana Pancasila telah (dan dapat) mengambil peran dalam tatanan hidup bersama.
Ini adalah hal hebat untuk melihat apa yang sebenarnya sudah berada di depan hidung kita sejak lama.