Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Telaah Banalitas Korupsi dari Kedalaman Manusia

8 Desember 2021   11:34 Diperbarui: 10 Desember 2021   16:16 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Petugas KPK menunjukkan barang bukti yang diperoleh dari operasi tangkap tangan (OTT), Jakarta, Jumat (1/4/2016).(TRIBUNNEWS / HERUDIN)

Seperti yang pernah ditanyakan oleh Elias Canetti, "Apa artinya menjadi manusia di tengah-tengah keniscayaan naluri rimbanya?"

Terkikisnya nilai-nilai moral dapat membuat seseorang terjebak dalam keabu-abuan antara apa yang baik dan apa yang benar. Koruptor bukan hanya merasionalisasi kejahatannya sebagai "benar", tetapi mereka juga menukar nilai "buruk" menjadi "baik" akibat defisitnya moralitas.

Padahal moralitas adalah kompas dalam diri manusia yang mengarahkannya pada kelembutan tata hidup bersama. 

Dan tanpa kemampuan untuk membuat pertimbangan akan nilai-nilai, untuk membedakan mana yang baik di antara hal-hal yang buruk, tidak peduli seberapa cerdasnya seseorang, koruptor telah kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Betapa pun mereka tahu bahwa korupsi itu termasuk kejahatan besar, tanpa pengendalian diri, mereka mengabaikan label "kejahatan" dan tetap melakukannya dengan sukaria.

Bengkoknya nilai-nilai pribadi dapat menggerus rasa empati mereka ke dalam kuburan jiwa yang hampa. Nurani mereka seakan beku dan tidak bisa lagi menyerap penderitaan orang lain.

Tidak adanya kepedulian dan pengertian terhadap penderitaan rakyat membuat koruptor dapat merasionalisasi kejahatannya. 

Pemikiran mereka bekerja otomatis mencari kambing hitam atas perbuatannya, dan lalu merasa telah "bercuci tangan" tidak peduli seberapa besarnya kebengisan mereka.

Bagaimanapun juga, mereka mendistorsi persepsi realitas bahwa kesenangan berada di atas segala-galanya, sama seperti hewan yang tingkah lakunya (selalu) mengarah pada kenikmatan yang dangkal dan tanpa pertimbangan.

Pada titik ini, koruptor adalah manusia yang belum juga beranjak dari kodrat hewaninya yang sedemikian brutal dan merusak.

Friedrich Nietzsche percaya bahwa hakikat dari manusia adalah kehendak untuk berkuasa. Ketika dunia terdalam manusia dan dunia sosialnya berbenturan, maka muncullah kejahatan besar seperti korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun