Socrates merupakan seorang lelaki yang buruk rupa. "Berjanggut, berbulu, dengan hidung pesek dan lebar, mata yang menonjol, dan bibir tebal," urai sejarawan Paul Johnson. Namun, Socrates sama sekali tidak merisaukan penampilannya dan sering bercanda soal itu.
Suatu waktu di Simposium Xenophon, Socrates menantang Critobulus, seorang pemuda tampan untuk beradu ketampanan.Â
Kita tahu betapa tidak masuk akalnya "pertandingan" ini seperti menghadapkan sebongkah batu dengan sebutir berlian.
Critobulus menunjuk hidung besar Socrates sebagai bukti kejelekannya. Tapi tunggu dulu, sergah sang filsuf hebat.
"Tuhan membuat hidung untuk mencium, dan lubang hidungmu menghadap ke bawah sementara punyaku lebar, menghadap ke atas, dan mampu mencium bau dari segala arah."
Sedangkan bibir besarku, lanjut Socrates, akan memberikan kecupan yang "lebih manis dan nikmat dibandingkan dengan bibirmu."Â
Kita bisa memberikan poin kemenangan pada siapa pun, tetapi lihatlah bagaimana Socrates menunjukkan rasa puasnya terhadap diri sendiri.
Kisah yang berkonotasi sama juga terkandung dalam anekdot-anekdot Diogenes.Â
Dia merupakan seorang filsuf bermazhab sinisme, dan sering bercakap-cakap dengan salah satu kaisar termahsyur sepanjang sejarah, Alexander Agung.
Sang "penakluk dunia" itu sangat mengagumi sosok Diogenes yang pemikirannya begitu bijaksana dan acapkali cukup "menyentil".Â