Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Catatan Kucing Merah yang Basah

17 Juli 2021   16:06 Diperbarui: 17 Juli 2021   17:03 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jika dia memang harus mati, mengapa penderitaannya diperpanjang? | Ilustrasi oleh Dimitris Vetsikas via Pixabay

16 Juli 2021

Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada perpisahan dengan seseorang atau sesuatu yang kita sayangi. Itu juga berlaku untuk kucing, jika engkau benar-benar mencintainya. 

Lagi pula, daya macam apa yang menggerakkan kucing hingga ia melakukan sesuatu yang tidak pernah dimengertinya? Kekuatan macam apa yang mendorongnya untuk menghampiri sebuah tempat yang sangat asing baginya? 

Cappucino-ku sedikit menjelaskan bahwa lunturnya krim di permukaan gelas lambat laun mulai menyatu dengan cairan kopi yang menjadi asal-usulnya. Atau dengan sentuhan ironikal: segala sesuatu selalu menuju tempat asalnya.

Sore ini begitu cerah hingga aku benar-benar lupa bahwa pagi tadi amatlah dingin. Kecerahan awan-awan lembut di atasku telah banyak melukiskan kebahagiaanku yang amat sederhana, bahkan jika kehangatan ini tiba-tiba dilanda badai, kebahagiaanku tidak tergugah. 

Perlahan kuresapi bau-bau asap kendaraan yang acapkali mengingatkanku pada wewangian remah tanah kala hendak hujan.

Baiklah, aku menganggukkan kepala pada Si Kecil yang sekonyong-konyong berteriak saat kakiku melangkah di depannya. Ajaknya, "Mari menghitung burung-burung!"

Aku senang, dia mulai menghargai gerombolan pesawat hidup dan mungil itu. Dan tentu saja, dengan senang hati aku akan menggendongnya di punggungku dan kedua tangan kerdilnya berpegang erat melingkari leherku. 

Dia tahu betul soal keamanan "berkendara". Dan aku pikir, dia cerdik.

Kami berdiam diri di pinggir jalan, tepat di mana cahaya matahari Barat jatuh di tanah yang mengasyikkan. Sinar yang terang namun lemah memperlihatkanku keberadaan burung-burung yang bersembunyi di ranting pohon yang rindang. 

Aku masih tidak tahu apa jenis mereka, tidak peduli seberapa kerasnya aku ingin mengenal mereka. Aku pikir mereka licik! Kemarin menampilkan bulu-bulu gelap yang dibalut cerahnya putih. Tapi kini yang kulihat adalah cokelat dengan sedikit hijau muda. Burung apa itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun