Saya mengerti, menjadi pihak yang dipersalahkan itu sangat menjengkelkan. Dan karenanya kita tidak mau salah. Akan tetapi, kita lupa dengan sisi cerah dari mengakui kesalahan.
Orang-orang sangat fanatik dengan kebenaran. Mereka tidak mau dipersalahkan. Padahal tidak mengakui kesalahan adalah bentuk dari kesalahan itu sendiri.
Ironisnya, apa yang kita pikir benar belum tentu sepenuhnya benar. Ketika kita merasa tahu tentang "A", kita hanya tahu di permukaannya saja. Kita belum tentu tahu apa yang ada di balik "A".
Dan ketika kita mempelajari sesuatu yang baru, kita tidak beranjak dari "salah" menuju "benar". Kita hanya beranjak dari "salah" menuju "sedikit salah", kemudian menuju "kesalahan yang lebih sedikit", dan seterusnya.
Memang, kita selalu berproses menuju kebenaran dan kesempurnaan. Namun, kita tidak pernah benar-benar mencapainya. Selalu ada ruang untuk menjadi lebih baik.
Anda dapat berdalih bahwa Anda mengetahui 1 + 1 = 2. Tapi, Anda mungkin tidak benar-benar tahu mengapa bisa demikian. Ya, Anda hanya menyelam di permukaan.
Bahkan apa pun yang kita kenali dengan indra sering kali hanyalah ilusi. Indra adalah penipu yang andal. Kita pikir itu nyata, tetapi kita terjebak dalam fatamorgana.
Misalnya ketika Anda melihat objek yang jauh. Katakan saja Anda melihat rel kereta api yang memanjang hingga tidak tampak di mana ujungnya.
Anda akan melihat bahwa rel itu, semakin jauh dari pandangan, semakin ia terlihat menyatu. Kenyataannya, rel itu tetaplah rel yang seperti tangga; tidak menyatu sama sekali.
Karena kita memang demikian adanya. Kita selalu bermula dari tak tahu apa-apa. Kita tidak tahu apa-apa; kita hanya tidak tahu apa-apa.