Pada akhirnya, kita menjadi candu. Kehidupan berjalan dengan tidak seimbang. Banyak dari kita yang kemudian mudah marah, tersinggung, kecewa, bahkan meributkan sesuatu yang sebenarnya sepele.
Semua itu adalah tanda dari jiwa yang lelah. Kita kelelahan. Oh, kita kelelahan.
Dan sekarang, kita berada di bulan Ramadan. Tentu, inilah waktu yang tepat untuk memulihkannya.
"Latihan menderita"
Bulan Ramadan bukan sekadar menahan rasa lapar dan haus. Tentu unta dan ular jauh lebih mampu melakukannya ketimbang kita dalam hal itu. Tidak, berpuasa juga berarti menarik diri dari kesibukan dunia untuk menenangkan jiwa yang sudah kelelahan.
Tujuan puasa adalah mengadopsi pengendalian diri atas keinginan duniawi.
Menahan rasa lapar berarti juga berempati terhadap mereka yang menderita dengan masalah perutnya. Berpuasa adalah latihan yang sempurna untuk membangun kehidupan yang sederhana.
Menanggung rasa lapar adalah bentuk lain dari simulasi hidup berkekurangan. Tidak hanya berempati terhadap mereka yang sedang mengalaminya, tapi juga melatih diri sendiri jika suatu waktu kita mengalaminya.
Jika Anda tidak bisa memaksakan diri untuk menahan rasa lapar pada hari-hari biasa, bulan Ramadan bisa menjadi jalan keluar bagi Anda. Saya tahu, ada banyak keluhan tentang metode ini. Tapi, renungkanlah.
Memaksakan diri untuk menahan rasa lapar berarti latihan untuk menderita. Jika ini terdengar aneh, maka Anda telah terlampau jauh hidup dalam kemewahan. Dan jika suatu waktu Anda kehilangan semuanya, Anda tidak akan bisa bertahan.
Menurunkan standar rasa nikmat
Berpuasa, jika dilakukan dengan benar, akan mampu menurunkan standar rasa nikmat dari diri Anda. Artinya, Anda didorong untuk bisa menghargai sesuatu yang kecil, sesuatu yang selama ini kita anggap remeh, sesuatu yang selama ini kita tertawakan.
Ketika waktu berbuka tiba, sebutir kurma akan terasa sangat nikmat jika Anda benar-benar menghargainya. Tapi di hari-hari biasa, sebutir kurma adalah lelucon bagi Anda. Pizza adalah sesuatu yang Anda butuhkan.