Namun terlepas dari segala kemajuan itu, masalah sosial dan kesulitan pribadi tampak lebih menyebar dan lebih menonjol ketimbang sebelumnya.
Kita bisa bercermin pada kehadiran media sosial. Di balik manfaatnya dalam berkomunikasi, media sosial justru menimbulkan lebih banyak penderitaan bagi kita.
Beberapa dari kita menangis di pojokan karena merasa iri dengan kehidupan orang lain. Sebagian lagi meronta-ronta ingin berparas seperti para artis. Sebagian lagi mengalihkan dunianya pada dunia maya dan memilih lari dari dunia nyata.
Pada intinya, kemajuan yang pesat juga menimbulkan kesenjangan yang luar biasa tinggi. Ini melahirkan penderitaan yang lebih kompleks, bervariasi, bahkan tak terbatas. Satu kata yang menyindir di media sosial saja bisa menimbulkan perang antar RT!
Paradoks ini juga berkaitan dengan persepsi yang keliru bahwa segalanya yang dimiliki akan abadi. Padahal yang sebenarnya terjadi, semakin banyak kita memiliki, semakin banyak pula kita akan melepas.
Ketidakrelaan atau ketakutan untuk melepas itulah yang menjadi biang kerok penderitaan dari masyarakat modern. Kita sudah dibutakan dengan variasi sumber pemuas kebutuhan yang terus meningkat. Kita melupakan esensi terpenting dari hidup.
Paradoks kemajuan secara tidak langsung menunjukkan bahwa semakin kaya, sejahtera, dan aman lingkungan yang Anda tinggali, semakin mungkin Anda untuk bunuh diri.
3. Paradoks Pilihan
Selama ini kita beranggapan bahwa semakin banyak pilihan yang kita punya, semakin besar potensi kita untuk menjadi bahagia.
Asumsi seperti itu lahir dari asumsi lainnya yang keliru. Kita pikir kesejahteraan lahir dari kebebasan. Dan untuk mendapatkan kebebasan yang lebih banyak, kita harus memiliki lebih banyak pilihan.
Terdengar masuk akal, tapi itu tidak benar. Selamat datang di Paradoks Pilihan.
Sebelum membuat keputusan, kita akan membandingkan segala alternatif terhadap hasil yang kita harapkan. Namun justru, terlalu banyak pilihan akan membuat kita semakin bingung dan gelisah.