Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Khotbah Sang Penggembala

28 Februari 2021   20:19 Diperbarui: 28 Februari 2021   21:02 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bumi hanyalah sebuah noktah mungil berwarna biru dari belakang cincin Saturnus | Ilustrasi oleh Rebecca Schonbrodt-Ruhl via Pixabay

"Duh, akan tiba saatnya ketika manusia sangat terhina hingga tidak bisa lagi membenci dirinya sendiri!"

Kesunyian mulai mencekam, tak seorang pun dari rombongan mampu berkata-kata. Mereka mulai memerhatikan dengan serius sambil perlahan menaiki kudanya masing-masing.

"Perhatikan! Bumi yang kita tinggali ini hanyalah sebuah noktah mungil berwarna biru dari belakang cincin Saturnus. Kita bahkan bukan butiran debu dari kosmos. Kita lebih kecil daripada itu. Dan dalam sisa umur Bumi, larva-larva semakin bergejolak yang berarti kita tidak abadi."

Sang penggembala berjalan pelan menuju pusat kerumunan. Dia kembali berseru bak seorang pengkhotbah:

"Duh, manusia! Dunia semakin mengecil, dan di atasnya melompat-lompat umat manusia dengan bangga bak gerombolan kelinci di sebuah sabana. Tidakkah itu terlalu berat untuk kita pikul? Siapa yang akan mampu meringankan beban itu? Siapa yang akan menjamin bahwa beban itu akan terpenuhi dengan sempurna?"

"Kapan kau kehilangan kewarasan?" tanya seorang pria sembari menunjuk sang penggembala dengan pedangnya yang berkilau.

"Lebih baik kita bunuh saja dia. Tidak ada gunanya seseorang hidup dalam kegilaan," tawar pria lain dari rombongan itu.

Sang penggembala tak menghiraukan, tetap melanjutkan tuturan khotbahnya:

"Wahai Tuan-tuan berpedang, kita; aku dan kalian, adalah ras bagai kutu yang tidak dapat dibasmi. Kita pikir kita telah menemukan kebahagiaan. Tapi nyatanya kita masih butuh kehangatan. Seseorang tetap saja mencintai tetangganya dan menggosokkan badannya kepada mereka untuk mendapatkan kehangatan."

"Kita hormati teman kita yang baru saja wafat ini," lanjut sang penggembala. "Dia jatuh sakit dan menganggap itu sebagai dosa. Padahal apa yang kita tahu tentang takdir? Waspadalah wahai kawanku! Kita manusia sering tersandung oleh batu-batu, atau oleh manusia-manusia lain!"

Sang penggembala menghampiri pria tanpa nyawa itu. "Marilah temanku yang dingin dan kaku! Aku akan bawa kau ke tempat di mana aku bisa menguburmu dengan kedua tanganku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun