Bahkan tanpa kata pun, pertemanan bisa hancur hanya karena sentuhan jari.
(Soalnya saya pernah menelepon teman saya yang kebetulan sedang bermain ML. Keesokannya saat bertemu, nama saya tiba-tiba berubah jadi nama hewan.)
Depresi dan kecemasan
Nah, kasus ini terjadi, kebanyakan, adalah akibat dari tidak terwujudnya poin sebelumnya. Ketika orang-orang mem-post konten di media sosial, mayoritas hanyalah untuk mendapatkan like, love, atau komentar-komentar yang memuji.
Jujur aja deh, Anda pun sering begitu. Karena saya juga begitu (dulu).
Secara tidak langsung, ini menerbangkan harapan dari diri kita setinggi langit. Dan saat ekspektasi tak sesuai, pesawat harapan kita jatuh menuju hamparan samudera. Saking dalamnya, kita merasa kehilangan jati diri (mungkin terbawa ombak atau dimakan seekor paus).
Saya mengenal seorang teman yang kalau dia mem-post foto di WhatsApp, dia hanya menunggu satu orang yang disukai untuk melihat postingannya. Mungkin Anda juga begitu, tebak saya.
Teman saya menjadi cemas, menantikan sesuatu yang tak pasti. Dan saat orang yang ditunggu tidak ada, depresi menjadi jawaban.
Fear Of Missing Out (FOMO)
FOMO adalah sebuah fenomena di mana seseorang terus-menerus merasa takut saat tertinggal oleh sesuatu yang sedang tren. Setidaknya begitulah saya mendefinisikannya.
Ciri-ciri kaum FOMO bisa kita lihat sendiri pada orang-orang di sekitar kita. Maksud saya, ini merujuk pada mereka yang setiap 10 detik memeriksa beranda Facebook, atau beralih dari satu notifikasi ke notifikasi lain sepanjang hari, atau menjerit bak kesurupan saat ponselnya tertinggal (padahal sedang pergi ke kamar mandi).
Nah, lawan dari FOMO adalah JOMO (Joy Of Missing Out). Sebaliknya, orang-orang yang JOMO justru merasa tenang saat tidak mengikuti tren atau bahkan tak peduli.
(Kalau boleh sombong, saya sedang JOMO sekarang ini. Waktu yang biasa saya habiskan untuk media sosial diganti menjadi waktu untuk membaca buku. Saya hanya membuka media sosial saat 30 menit sebelum tidur, supaya tidak terlalu kudet.)