Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ada Cacat di Alam Duniawi

24 Januari 2021   09:08 Diperbarui: 24 Januari 2021   09:36 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kita seperti gelembung sabun | Ilustrasi oleh Felix Mittermeler via Pixabay

Fadhira Nasyiwa terbangun dengan cahaya matahari sedikit redup menghujaninya lewat jendela. Matanya yang setengah terbuka berusaha memandang jelas jam di dinding itu. Ini pukul setengah tiga sore. Ibu pasti sedang menyiapkan makanan untuk Dhira karena terdengar suara perkakas dapur dari bawah.

Perlahan Dhira bangkit untuk duduk di atas ranjangnya. Tangannya berusaha untuk meraih buku diari dari pinggir bawah ranjang. Ia mendekap buku kecil biru muda itu sembari memandangi langit sore kota Alodie yang samar lewat jendela.

Dhira membuka buku diarinya dan melihat lembar ke-14. Ia membaca dalam hati.

Burung-burung memerlukan sayap untuk terbang karena mereka terbuat dari darah dan daging. Malaikat tak butuh sayap untuk menjelajahi alam semesta karena mereka terbuat dari ruh. Aku terbuat dari daging dan darah seperti burung, tapi aku bisa terbang tanpa sayap seperti malaikat. Hanya dengan pikiran aku bisa menjelajahi dunia tanpa sayap.

Dhira lanjut membaca ke halaman berikutnya. 

Jika memang hidup ini hanya ilusi raksasa, itu bukan berarti apa-apa untukku. Tetap saja ajal akan menjemputku. Dan saat waktunya tiba, untaian mutiara halus keperakan ini akan terberai dan butir-butir mutiara akan terserak, bergulir melintasi negeri ini, dan berlari pulang ke ibu-ibu mereka, tiram-tiram di dasar laut. Siapa yang akan menyelam untuk memungut mutiara-mutiaraku? Siapa yang akan tahu bahwa mereka adalah milikku? Siapa yang akan mampu menebak bahwa pernah suatu ketika, seluruh dunia bergantung menghias leherku?

Lalu Dhira mengeluarkan sebuah kalung mutiara pemberian mendiang neneknya dari kotak perhiasan di bawah ranjang. Butiran-butiran mutiara itu tampak bersinar seperti awalnya. Kalung ini benar-benar tak berubah! 

Dhira sering menghitung jumlah butiran mutiara yang membentuk kalung itu; ada 27 butir. Satu saja hilang, pasti rasanya sangat hampa. Itu karena setiap butirnya sangat berharga untuk membuat butiran-butiran yang lain tampak berkilau.

Ia mengosongkan pandangannya menuju jendela. Rasanya ingin cepat sembuh, harap Dhira. Andaikan menaiki awan-awan itu mudah, ia pasti sudah berlari ke sana nanti. Ke mana, ya, awan-awan itu pergi saat angin menampar? Atau itu adalah akhir dari awan-awan?

Dan burung-burung itu, ke mana mereka berlindung saat hujan? Sekelompok burung yang entah apa jenisnya itu tampak membentuk sebuah formasi. Terlihat seperti bentuk sebuah burung. Aneh, sekelompok burung terbang membentuk formasi sebuah burung raksasa. 

Terkadang, segala sesuatunya memang tidak bisa dipahami, cukup dinikmati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun