Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan Terlihat Ambyar, Siapa yang Salah?

27 September 2020   18:46 Diperbarui: 29 September 2020   05:15 2851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. Murid SD Negeri Samudrajaya 04, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi belajar di ruang kelas yang rusak, Senin (20/1/2020). Tidak hanya gedung bangunan yang buruk, sistem pendidikan manusia Indonesia masa kini pun buruk. (Foto: KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Di balik setiap pagi yang cerah, rutinitas saya yang begitu membosankan telah menanti di depan mata.

Terima kasih Google Classroom, telah membangunkan saya dengan nada dering notifikasimu yang begitu menjengkelkan. Juga kepada notifikasi WhatsApp, terima kasih telah menemani sarapan saya. 

Tidak lupa untuk buku tugas, kesudianmu menemani saya makan siang sungguh begitu menyebalkan. Oh, saya lupa, terima kasih untuk lambung saya yang tetap kuat mengonsumsi kopi setiap malam supaya tidak mengantuk mengerjakan tugas.

Memang benar, hari-hari saya (bahkan seluruh pelajar) dipadati dengan mengerjakan tugas sekolah. Tidak sepenuhnya, memang. Namun ini cukup untuk saya menyetarakannya dengan shalat lima waktu. Mungkin karena hal tersebut juga, saya layak mendapatkan gelar sebagai manusia paling membosankan sepanjang sejarah.

Kendati demikian, saya sangat paham bahwa ini merupakan efek domino dari pandemi COVID-19. Pandemi membuat segala-galanya terlihat begitu ambyar dan menyebalkan. Tugas yang semakin meledak, kuota yang semakin sekarat, pikiran yang semakin berat, persetan saja lah.

Ada alasan sederhana yang bisa menjawab mengapa tugas sekolah begitu membludak tiada henti. Menurut laporan Ikatan Guru Indonesia, Juni 2020, tercatat sekitar 60% guru memiliki kemampuan sangat buruk dalam penggunaan teknologi informasi saat mengajar. 

Seperti yang bisa kita tebak, pemberian rentetan tugas yang non-stop menjadi alternatif mayoritas pengajar dalam pelaksanaan sekolah berbasis online saat ini. Belum lagi, para tenaga pengajar merasa dituntut untuk mencapai standar kurikulum.

Ini bukan tulisan saya untuk mengkritik pihak tertentu. Serius amat, bung! Tidak, ini suara saya dalam mewakili pelajar di Indonesia, bahwa segalanya, terlihat begitu ambyar.

Mari kita blak-blakan saja: mayoritas pelajar saat ini hanya berupaya mendapatkan nilai, bukan ilmu. Maaf atas hal itu, tapi saya tidak bercanda, meskipun terdengar lucu. Bahkan terkadang, hal itu cukup untuk mewakili diri saya pribadi.

Dengan segala fasilitas kenyamanan yang ada, rumah memang sangat menggoda untuk dijadikan sebagai tempat bermalas-malasan. Jadi tidak heran kalau tingkat kemalasan semakin meningkat di era sekolah online ini. Iya, saya tahu, budaya malas memang sudah melekat sejak dulu. Dan ini yang saya sebut sebagai malas kuadrat.

Tugas menumpuk, oke. Tapi apa yang para pelajar dapatkan dari mengerjakan tugas sebanyak itu? Sekali lagi, saya cukup yakin bahwa mayoritas pelajar hanya cukup mengerjakan tugas-tugas, kemudian bodo amat tentang materi apa yang dipelajari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun