Mohon tunggu...
Izza Alvarez
Izza Alvarez Mohon Tunggu... Sejarawan - Pelajar

Selagi kita mau berusaha dan berkarya untuk menentukan masa depan kita, tidak akan ada kata "Tidak bisa"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Husaini Si Tukang Pos

3 Desember 2019   09:22 Diperbarui: 3 Desember 2019   09:35 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak semua orang bisa menghayati profesi yang ditekuninya. Apalagi jika profesi ini tidak menjanjikan secara materi dalam kehidupan sehari-hari. Namun jika ada orang yang mengahayati tugasnya dengan penuh ketekunan bahkan rela bekerja tanpa upah, maka Chusaini lah salah satunya. Pria ini merupakan penduduk asli Tambakberas. "Rumah saya dulu letaknya di belakang rumah yatim sekarang", jawabnya ketika ditanya asal-usulnya.

Kang Saini, demikian ia biasa dipanggil, merupakan salah satu saksi hidup perkembangan Bahrul Ulum semenjak pesantren ini masih berupa belantara sampai kini dipenuhi santri yang dating dari berbagai penjuru. Maklum, di usianyayang sudah tua, Saini merupakan sedikit dari orang-orang yang masih tersisa yang pernah terlibat dalam aktivitas di Bahrul Ulum sebagai pesuruh. Mereka biasanya membantu tugas-tugas Kiai sebagai tenaga kasar seperti membersihkan rumah, berdagang, atau hanya disuruh ini itu.

Halnya Saini, agaknya pekerjaannya jauh lebih beragam. Sebab dia juga pernah mengabdikan diri sebagai pengantar surat yang pertama di Bahrul Ulum semenjak pesantren ini punya kotak pos sendiri. Sebagai orang yang hidup di tiga zaman, Saini melalui pengabdiannya dengan ikut Kiai Wahab, Kiai Hamid, dan Kiai Fattah.

Setelah lima tahun ikut Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Hamid Chasbullah serta membantu Nyai Latifah, istri Kiai Chasbullah, tahun 1951 Saini diajak Kiai Fattah untuk mengabdi pada beliau. Saat itu, Nyai Latifah baru saja meninggal dunia, sedangkan Kiai Wahab sering ke Jakarta untuk urusan negara. Praktis tidak banyak pekerjaan yang bias dilakukannya, maka ajakan Kiai Fattah pun diterimanya. Selain membantu di ndalem, Saini mendapat jabatan khusus sebagai pengantar surat.

Ketika ditanya bagaimana awalnya dia bias mengemban amanah itu. Saini menerawang mengenang nostalgia puluhan tahun itu. Saat itu saya ditanya oleh Kiai Fattah, apa kamu bias tulis dan baca? Saya menjawab, "Bisa". Husaini pernah mengenyam sekoolah ongko loro (SR-red) dan madrasah. Bahkan dia pernah sekelas dengan Kiai Fatih Abdurrochim dan Kiai Najib Wahab semasa masih di SR. Beliau berdua ini, menurut Saini juga merupakan teman bermain. Mulai dari mencari tebu di sawah hingga main petak umpet. Meskipun untuk permainaan terakhir ini Saini sering dikerjain. Sebab itu dia kebagian yang tutup mata, kedua 'temannya' itu meninggalkan Saini pergi jauh hingga ke pasar . Baginya itu semua kisah lucu yang tak mungkin terulang.

Suami dari almarhum Sulasih ini lantas dipercaya Kiai Fatah untuk mengambil surat dan wesel seminggu dua kali di kantor pos Jombang dengan mengendarai sepeda pancal. Tentu saja jalannya saat itu belum semulusdan seramai sekarang. Surat yang dia ambil kebanyakan diperuntukkan bagi santri-santri yang waktu itu makin bertambah banyak. Salah sataunya berasal dari Sumatera. Dia hafal dengan santri satu ini, sebab kiriman weselnya paling banyak yaitu Rp.2500.mAngka yang tinggi mengingat rata-rata antara 200 sampai 300 rupiah. Sedangkan harga beras sekilo hanya Rp. 15.

Karena seringnya Saini pergi ke kantor pos, tak heran jika dia hafal betul dengan orang-orang yang bertugas disana. "Saya kenal sama pimpinan kantor pos Namanya Pak Sudiarso", tuturnya bangga.

Bagi Saini, uang bukanlah segalanya. Ketika ditanya oleh Kiai Fatah berapa bayaran yang diinginkan. Serta merta Saini menolak. Meskipun untuk jabatannya itu dia harus menepis tawaran lain yang meninggalkannya menjadi pesuruh di kantor KUA Jombang. Tentu saja dengan imbalan tertentu.

Baginya bias mengabdi pada Kiai itu sesuatu yang tidak bisa diukur dengan uang. Selama 18 tahun rutinitas mengambil surat membantu di ndalem dan dikebun serta setiap sore menyalakan 8 buah lampu strongking untuk pondok dan ndalem Kiai dilalui tanpa mengeluh.

Pekerjaan yang dilaluinya bukannya tanpa cobaan. Sebagai pengantar surat, dia bisa leluasa keluar masuk lokasi pondok, termasuk pondok putri. Sebagai laki-laki normal, berhadapan dengan santri putri tentu saja punya arti tersendiri bagi Saini. Maka ketabahan terhadap godaan itu lama kelamaan menjadi hal yang biasa baginya. Satu nama yang paling diingat Saini adalah santriwati senior Al Fathimiyyah bernama Mas'ah. Dia berasal dari Pucangsimo, kenangnya.

Toh, tidak setiap orang bisa tabah seperti Saini yang dalam kesehariannya harus berhadapan dengan santriwati yang terkadang suka iseng menggodanya. Nyatanya seperti yang ia tuturkan, "Orang yang menggantikan saya hanya bertahan 5 tahun". Sebab dia tergoda dengan santriwati-santriwati yang memang cantic-cantik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun