Mohon tunggu...
Muh. Jamil
Muh. Jamil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ketua Pengurus BMT Insan Mandiri

Aku Belajar Maka Aku ada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sistem Sosial Budaya Masyarakat Maritim

3 Januari 2015   03:30 Diperbarui: 4 April 2017   17:29 12741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

By : Muh Jamil

PENDAHULUAN

Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan masyarakat maritim, cepat atau lambat pasti mengalami dinamika / perkembangan. Dinamika tersebut meliputi wujud-wujud teknologi dan benda/karya, perilaku dan kelembagaan, sistem-sistem budaya kognitif/mental, etos/sikap kepribadian. Menjadi kenyataan pula bahwa biasanya dalam dinamika ada tradisi bertahan (continuety), ada elemen-elemen dan tatanan inti (struktur elementer) bertahan, yang  dalam banyak hal justru ditopang oleh atau menopang proses dinamika itu sendiri. Proses dinamika dan bertahannya tradisi akan mempengaruhi situasi dan kondisi sosial ekonomi serta lingkungan sumberdaya alam dimanfaatkannya.

Dalam masyarakat maritim, termasuk di Indonesia, telah tumbuh berbagai sektor dan subsektor ekonomi kemaritiman baru yang memunculkan segmen-segmen atau kategori-kategori sosial seperti petambang, pekerja industri, pengelola dan karyawan wisata, marinir,akademisi/peneliti, birokrat, dan lain-lain. Tumbuh kembangnya sektor-sektor ekonomi dan jasa dengan segmen-segmen masyarakat maritim tersebut memerlukan dan diikuti dengan perkembangan dan perubahan-perubahan kelembagaannya menjadi wadah dan regulasinya. Tumbuhnya sektor-sektor ekonomi baru dan berkembangnya sektor-sektor ekonomi kemaritiman lama, terutama perikanan dan pelayaran, tampak dalamperkembangan dan perubahan-perubahan teknologi, perubahan struktural, dan sistem-sistem budaya kemaritiman (pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai, norma/aturan). Gambaran tentang fenomena dinamika sosial budaya maritim berikut menggunakan kasus desa-desa Nelayan Bugis, Bajo dan Makasar di Sulawesi Selatan (sumber data/informasidiperoleh dari berbagai hasil penelitian lapangan).

PEMBAHASAN

Motorisasi Perahu/kapal Nelayan

Seperti halnya di berbagai desa nelayan di kawasan timur Indonesia lainnya, motorisasi perahu dan kapal penangkapan ikan di desa-desa nelayan Sulawesi Selatan baru mulai di tahun-tahun 1970-an. Mula-mula hanya beberapa orang nelayan berstatus ponggawa (pengusaha danpemilik ala-ala produksi) mampu mengkredit motor dari pengusaha besar di kota Makasar (Bos dalam istilah lokal).

Perkembangan Usaha dan Teknologi Perikanan Laut

Karena motor sendiri adalah salah satu komponen modal vital yang membutuhkan biaya operasioanl secara terus-menerus, maka ini harus difungsikan dengan penggunaan alat-alat tangkap produktif. Di Sulawesi Selatan, di antara sekian banyak alat tangkap tradisional yangmasih digunakan nelayan, terdapat beberapa di antaranya lebih berasosiasi dengan motor seperti pukat gae (Bugis) atau rengge (Makasar), jala/panjak (payang), bagang, pancing sunu (p.kerapu), pancing tongkol, bubu, kompresor (sarana selam), dan lain-lain. Trawl (pukat harimau) termasuk alat tangkap baru dan modern yang kemudian dilarang dan memang tidak pernah disukai oleh nelayan lapisan bawah karena merugikan mereka, merusak sumberdaya dan ekologi. Alat-alat tangkap tradisional tersebut di atas kemudian menjadi lebih produktif berkat dioperasikan dengan perahu-perahu motor. Dapat dikatakan bahwa adopsi inovasi motor dapat memberikan sumbangan kepada pengembangan dan kontinyuitas teknologi tangkap tradisional tersebut, jadi bukannya memusnahkannya.

Dinamika Struktural

Di Sulawesi Selatan, tempat kediaman dan asal usul komunitas-komunitas nelayan Bugis, Bajo dan Makasar di berbagai tempat di Nusantara ini, dikenal kelompok kerjasama nelaya yang dikenal dengan istilah Po(u)nggawa-Sawi (P-Sawi), yang menurut keterangan dari setiap desa telah ada dan bertahan sejalk ratusan tahun silam. Meskipun kelompok P-Sawijuga digunakan dalam kegiatan pertanian, perdagangan di darat dan pengelolaan tambak, namun kelompok ini lebih eksis dan menyolok peranannya dalam aktivitas pelayaran dan perikanan rakyat Bugis, Makasar, dan Bajo di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lainnya di Indonesia.

Struktur inti/elementer dari kelompokorganisasi iniialah P.lautatau Juragan dan SawiP.Laut berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi dan sebagai pemilik alat-alat produksi. Para P.Laut memiliki pengetahuan kelautan, pengetahuan dan ketrampilan manajerial, sementara para sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan ketrampilan kerja/produksi semata.

Suatu perubahan struktural yang berarti terjadi ketika suatu usaha perikanan mengalami perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh seorang P.Laut/Juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Untuk pengembangan dan eksistensi usaha, maka P.Laut/Juragan tidak lagi ikut memimpin pelayaran dan proses produksi di laut, melainkan tetap tinggal di darat/pulau untuk mengelolaperolehan pinjaman modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggota yang beroperasi di laut, membangun jaringan pemasaran, dan lain-lain. Di sinilah pada awalnya muncul satu status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang disebut P.Darat/P.Pulau. Untuk memimpin pelayaran dan aktivitas produksi di laut, P.Darat merekrut juragan-juraganbaru untuk menggantikan posisinya dalam memimpin unit-unit usaha yang sedang berkembang dan meningkat jumlahnya. Para P.Laut/Juragan dalam proses dinamika ini sebagian masih berstatus pemilik, sebagain lainnya hanyalah berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan. Para juragan yang direkrut dari sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga dengan istilahP.Caddi, sedangkan P.Darat disebut P.Lompo.

Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi baik dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih kompleks (P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron-client. Hubungan patron-client memolakan dari atas bersifat memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal, sedangkan dari bawah mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan kepatuhan, kerja keras, disiplin, kejujuran, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, dan lain-lain (dapat dipahami sebagai modal sosial).

Gejala perubahan sruktural paling menyolok dan terasa ketika berlangsung adopsi inovasi teknologi perikanan terutama motor/mesin,peningkatan volume perahu, beberapa jenis alat tangkap baru skala besar, sarana pengawetan modern (penggunaan es balok). Untuk meresponsdifusi inovasi teknologi eksploitasi dan sarana penggerak tersebut, paraP.Darat/P.Lompo/pengusaha lokal yang mempunyai kemampuan modal terbatas terpaksa mengusahakan bagian besar dari modalnya ke pihak-pihak lain, yaitu pengusaha besar di kota-kota besar, teurutama Makassar,dengan sistem kredit. Sudah menjadi pola umum dalam masyarakat nelayan tradisional bahwa dari mana diperoleh pinjaman modal, ke situ pula dipasarkan tangkapan. Pola ini sekaligus sudah menjadi norma pemasaran yang mengakar. Cara seperti inilah memungkinkan para pengusaha modal dari luar secara berangsur-angsur mengambil alih sebagian besar posisi dan peranan vital para pengusaha lokal, yang lemah dalam faktor modal. Mula-mula mereka menuntut hasil tangkap dijual kepada mereka, kemudian banyak menentukan spesis-spesis tangkapan nelayan dan tingkat harga, dan jika ketentuan-ketentua kurang dipenuhi maka pinjaman (dalam bentuk perahu dan mesin) ditarik kembali dari nelayan dan para ponggawa-nya.

Dalam perubahan struktural seperti ini, para pengusaha modal besar di Makasar dapat diposisikan pada strata paling atas yang dikenal dengan istilah Bos, P.Pulau/P.Darat sebagai peminjam pada posisi tengah (peranannya menyerupai makelar), sementara para P.Laut/Juragang danSawi (nelayan) sebagai penyewa atau penyicil alat-alat produksi sematadari Bos melalui P.Darat/P.Pulau/P.Lompo. Keterlibatan dan dominasi Bosdalam hirarkis struktur hubungan kerjasama nelayan, menyebabkan hubungan patron-client di antara P.Lompo/P.Darat dengan nelayan sebagian berubah menjadi hubungan eksploitatif, sementara hubungan terpercaya cenderung dibangun dan dimantapkan antara para P.Darat danBos. Tinggal P.Laut dengan Sawi-nya relatif masih mempertahankan hubungan harmonis yang terbangun sejak dahulu kala.

Perlakuan para P.Darat/P.Lompo yang seringkali merugikan bagiP.Laut/Juragan, yang menyebabkan mereka sulit meningkatkan penapatan dan bergeser naik ke status pemilik alat-alat produksi/pengusaha, mendorong sebagian P.Laut/P.Caddi/Juragan mencoba menempuh cara berisiko, yaitu meminjam modal langsung kepada Bos di Makasar. Hingga sekarang, tidak sedikit Juragan telah mencapai idamannya dengan strategi seperti ini, yaitu menjadi nelayan pemilik/pengusaha. Sebaliknya, mereka cenderung membangun kompetisi dengan dan mempersempit peluang usaha para P.Darat/P.Lompo yang sudah kokoh sejak lama. Demikianlah tercipta suatu struktur kerjasama baru antara Bos dengan P.Laut/Juraganyang secara langsung memimpin kelompok-kelompok nelayan yang jumlahnya kecil di laut.

Pengembangan Budaya Maritim

Untuk sekedar menyegarkan pemahaman, sekali lagi diungkapkan bahwa kebudayaan tidak lain dari dunia kehidupan manusia itu sendiri. Kebudayaan atau dunia kehidupan manusia tersebut sekurang-kurangnya meliputi tujuh unsur umum (cultural universal), yakni pengetahuan (cognitive/ideational/mental material), bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, kesenian, religi dan kepercayaan. Setiap unsur kebudayaan terdiri dari tiga tingkatan wujud/rupa, yakni sistem budaya (gagasan, pengetahuan, nilai, keyakinan, norma, moral, perasaan, intuisi, dan lain-lain), sistem sosial (tindakan dan kehidupan kolektif), dan sistem alat peralatan/teknologi. Sudah dijelaskan pula bahwa sistem budaya (terkristalisasi menjadi sistem nilai budaya) merupakan pedoman/acuan (preference/dominant) bagi sistem sosial dan sistem alat peralatan, sebaliknya sistem alat peralatan dan sistem sosial menjadi prasyarat/penentu (determinant) terhadap sistem budaya. Adapun sistem sosial sendiri merupakan wadah bagi pengamalan sistem nilai budaya dan penerapan sistem alat peralatan/teknologi.

Oleh karena sistem nilai budaya merupakan pedoman/acuan bagi sistem sosial (berkehidupan bersama) dan sistem teknologi (rekayasa dan penggunaan alat peralatan), maka dalam rangka pengembangan atau pembangunan kebudayaan maritim ke depan tentu tepatnya dimulai dari sistem nilai budaya maritim itu sendiri. Dengan terbangunnya sistem nilai budaya maritim yang ideal dan pragmatis, maka pembangunan dimensi kehidupan bermasyarakat dan teknologinya akan terarahkan dan terkendali dengan baik dalam konteks kristalisasi nilai dan moral budaya maritim yang mengakar dan rekayasa baru individu atau kelompok potensial dari segmen-segmen masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders). Termasuk dalam segmen-segmen stakeholders yang kreatif-inovatif dalam merekayasa unsur-unsur budaya maritim baru yang ideal, pragmatis, dan aplikatif ialah kalangan akademisi, ahli dan pemerhati lingkungan, praktisi pembangunan, tokoh agama, LSM, dan sebagainya.

Dari gambaran dan ilustrasi unsur-unsur budaya nelayan dan pelayar disajian sebelumnya, dapat diramu dan diseleksi berbagai unsur nilai budaya maritim yang dianggap potensial untuk direvitalisasi dan dikembangkan ke depan sebagai landasan bagi pembangunan budaya maritim di Indonesia pada segala unsur atau aspeknya. Unsur-unsur nilai dan norma budaya positif yang mengakar dalam berbagai kelompok nelayan dan pelayar dari berbagai suku bangsa (ethnic groups) yaitu : Komunalisme, Arif lingkungan, Religius, Berkehidupan bersama/kolektivitas, Egalitarian, Rukun dan setia kawan dalam kelompoknya, Saling mempercayai,   Patuh/taat norma, Bertanggung jawab, Disiplin, Kreatif-inovatif, Teguh pendirian, Kepetualangan, Berani menanggung risiko, Adaptif dan kompetitif, Berwawasan kelautan dan kepulauan, Multikulturalis, Nasionalis, Berpandangan dunia/keterbukaan

Tentang nilai-nilai budaya maritim tersebut, tidak diasumsikan dianut dan diaplikasikan oleh kelompok atau komunitas masyarakat nelayan pada umumnya dan berlaku pada semua periode waktu atau masa. Sebaliknya, keberadaan sebagian besar unsur nilai budaya maritim tersebut bersifat kontekstual. Misalnya, keberanian dan kepetualangan, keketatan organisasi kerjasama, etos ekonomi yang tinggi, wawasan kelautan, multikulturalisme, nasionalisme, dan sikap keterbukaan, banyak dimiliki nelayan dan pelayar Bugis dan Makassar dengan kelembagaan P-Sawi; sikap hemat/efisien dalam pemanfaatan uang dimiliki kebanyakan dimiliki komunitas nelayan Dufadupa (Ternate) dengan kelembagaan arisan, menabung, ke-Dibodibo-an; sikap tolong-menolong antaranggota kelompok nelayan dari unit-unit usaha yang berbeda dimiliki komunitas nelayan Bonebone (Baubau --Buton) dengan kelembagaan rektur Kuli Jala; sikap kebersamaan dengan dan melestarikan lingkungan ekosistem dan sumberdaya perikanan laut, dan pemanfaatan hasil-hasil secara bersama dan adil dimiliki oleh komunitas nelayan Maluku, Irian, dan Aceh dengan kelembagaan lokal Sasi, Tyatiki, dan Panglima Laut); dan lain-lain.

Sistem nilai budaya, sikap kolektivitas, dan perilaku budaya kemaritiman tersebut tumbuh berkembang sebagai reproduksi dari pengalaman berinteraksi dengan laut, pekerjaan berat dan rumit, ancaman bahaya dan ketidakmenentuan, lingkungan sosial budaya masyarakat pengguna sumberdaya dan jasa laut yang lain, pemerintah, pasar, dan sebagainya.

Problem  Sosial - Ekonomi Masyarakat Maritim

a.Eksploitasi Sumber Daya Laut

Kelangkaan sumberdaya memang telah menjadi isu global, ketika sumberdaya ikan dunia hanya tinggal 4% yang belum dieksploitasi, 21% dieskploitasi pada tingkat sedang, 65% dieskploitasi pada tingkat penuh dan berlebihan, 9% rusak, dan tidak lebih dari 1% yang pulih (Garcia & Moreno, 2001). Intensifnya pemanfaatan sumberdaya ikan tidak hanya meninggalkan permasalahan akut kelangkaan sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi, ekonomi, dan sosial terutama di daerah-daerah pantai.

Perikanan Indonesia juga sedang mengalami nasib yang serupa. Secara nasional, hasil pengkajian stok ikan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian Oseanologi tahun 2001 menunjukkan 65% sumberdaya dieksploitasi secara penuh atau berlebihan dan sumberdaya ikan di kawasan barat mendapat tekanan yang paling berat. Dari aspek produksi, pertumbuhan yang tinggi terjadi pada dekade 1970an akibat pesatnya laju motorisasi perikanan yang mencapai lebih dari 10% per tahun. Sayangnya, motorisasi ini menghasilkan dualisme industri perikanan. Keberpihakan berlebihan pada perikanan skala besar (trawl dan purse-seine) melahirkan berbagai konflik dan menjadi catatan buruk pengelolaan perikanan Indonesia. Saat ini, perikanan cenderung tumbuh semakin terbatas dan berdasarkan data FAOSTAT (2005) pertumbuhan produksi tidak lebih dari 2% per tahun selama periode 1999-2001. Dalam periode yang sama, berdasarkan data DKP (2003) nelayan tumbuh di atas 2% per tahun dan melebihi laju pertumbuhan kapal ikan. Indikasi ini tidak hanya menunjukkan sumberdaya ikan semakin terbatas mendukung ekonomi nelayan, tetapi juga menjadikan perikanan sebagai pelabuhan terakhir masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap lapangan kerja lainnya. Tidaklah mengherankan jika Béné dalam Jurnal World Development (2003) menyebut perikanan yang sedang berjalan seirama dengan kemiskinan.

Tentu, integrasi perikanan kedalam pembangunan desa perlu didorong untuk menghindarkan pembangunan yang bersifat sektoral. Berkembangnya usaha-usaha berbasis kelompok seperti pengolahan dan perdagangan ikan, budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwisata termasuk usaha berbasis wanita di beberapa wilayah pesisir menjadi modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan ke dalam pembangunan desa. Berbagai upaya ini tentu sangat tergantung ”sense of urgency” dan ”political will” pemerintah yang saat ini banyak memegang kendali pengelolaan perikanan. Bukanlah hal yang mudah ketika pemerintah tengah memasang berbagai target pembangunan di atas tahun-tahun sebelumnya, seperti produksi perikanan 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi ikan 28 kg/kapita/tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan kontribusi terhadap PDB 3,1%. Prioritas pada pengelolaan tidak hanya bermakna menjaga keberlanjutan perikanan laut yang menyumbang 75% total produksi perikanan nasional, tetapi juga menyelamatkan lebih dari 2,5 juta nelayan yang segara langsung tergantung padanya.

b. Kemiskinan

Dalam perkembangan, justru masyarakat nelayan belum menunjukkan kemajuan yang berarti dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Keberadaan mereka sebagai agen perubahan sosial ternyata tidak ditunjukkan secara positif dengan kehidupan ekonominya. Persoalan sosial paling dominan yang dihadapi di wilayah pesisir justru masalah kemiskinan nelayan. Meski data akurat mengenai jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir ini belum tersedia, data dari hasil-hasil penelitian yang ada menunjukan adanya incidence poverty di beberapa pesisir.

Hasil studi COREMAP tahun 1997/1998 di 10 provinsi di Indonesia menunjukkan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan berkisar antara Rp 82.500 per bulan sampai Rp 225.000 per bulan. Kalau dikonversi ke pendapatan per kapita, angka tersebut rata-rata setara dengan Rp 20.625 sampai Rp 56.250 per kapita per bulan (Anon, 2002). Angka tersebut masih di bawah upah minimum regional yang ditetapkan pemerintah pada tahun yang sama. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir.

Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Sebagai contoh, pendapatan dari penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per bulan (Erdman dan Pet, 2000). Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.

c. Faktor Penyebab

Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat, kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena dalam masyarakat.

Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakat (Pakpahan dan Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka di 14 kecamatan daerah pantai yang tersebar di beberapa provinsi diketahui, nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah.

Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi, namun ternyata lebih banyak disebabkan oleh kurangnya aktivitas penyuluhan atau teknologi dan rendahnya lembaga penyedia teknologi. Yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah ditemukannya korelasi positif antara tingkat kemiskinan dengan perkembangan sistem ijon. Para nelayan miskin umumnya, kehidupan ekonomi mereka sangat tergantung kepada para pemilik modal, yaitu pemilik perahu atau alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan keperluan perahu untuk berlayar.

d. Konflik Antar Nelayan

Berdasarkan studi di lima provinsi, Satria, et.al. (2002) mengidentifikasi paling tidak terdapat empat macam konflik nelayan berdasarkan faktor penyebabnya.

Pertama, konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground), yang mirip dengan kategori gearwar conflict-nya Charles (2001). Ini terjadi karena nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital. Seperti, konflik yang terjadi akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan pesisir yang sebenarnya merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisional.

Kedua, konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antara nelayan yang memiliki kepedulian terhadap cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan nelayan yang melakukan kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, potasium, dan lain sebagainya (orientasi jangka pendek).

Ketiga, konflik agraria, merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan fishing ground, yang bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas nelayan. Ini juga bisa terjadi antara nelayan dengan pihak lain non-nelayan, seperti antara nelayan dengan pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata, pertambangan, yang oleh Charles (2001) diistilahkan sebagai external allocation conflict.

Keempat, konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Anatomi konflik di atas menggambarkan betapa kompleksnya konflik nelayan. Keempat tipe tersebut terjadi baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah. Perebutan sumberdaya ikan yang semakin langka menjadi salah satu akar konflik perikanan saat ini, sehingga menuntut kita untuk bepikir ulang tentang cara mengelola sumberdaya ini. Banyak kepentingan nelayan terkalahkan oleh kepentingan non nelayan karena nelayan tidak memiliki organisasi dengan posisi tawar yang kuat. Di era otonomi daerah ini lebih-lebih adanya kecenderungan Pemda mengejar kepentingan jangka pendek dengan mengedepankan proyek-proyek yang quick yielding yang seringkali bersebarangan dengan kepentingan nelayan, kehadiran organisasi nelayan yang solid menjadi kian mendesak.

Terakhir, dalam jangka panjang pemberdayaan nelayan sangat penting dalam mengantisipasi konflik. Pemberdayaan tentu utamanya diarahkan pada peningkatan ketahanan ekonomi rumah tangga nelayan.  Berbagai bentuk praktek penangkapan ikan secara destruktif ternyata tidak bisa lepas dari perspektif ekonomi. Ketika nelayan dengan alat tangkap yang sangat terbatas dan menghasilkan tangkapan ikan yang secara minimal, maka dorongan untuk melakukan praktik penangkapan secara destruktif menjadi besar. Akibatnya konflik orientasi pun sering terjadi. Tentu aspek ekonomi ini juga mesti diiringi dengan aspek sosial budaya yaitu dengan melakukan pengkayaan pengetahuan dan pola sikap para nelayan terhadap sumberdaya laut yang di beberapa tempat sudah mulai bergeser.

Solusi Alternatif ; Pemberdayaan Alternatif

Saat ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), tapi ironisnya masyarakat tetap saja tidak merasa memiliki akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak program yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat.   Memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi masyarakat pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena didalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masayarakat yaitu :  Masyarakat nelayan tangkap,  Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, Masayarakat nelayan buruh, dan Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan buruh.

Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan perlakuan khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktivitas ekonomi mereka.

Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir haruslah dirancang dengan sedemikian rupa dengan tidak menyamaratakan antara satu kelompk dengan kelompok lainnya apalagi antara satu daerah dengan daerah pesisir lainnya.  Pemberdayaan masyarakat pesisir haruslah bersifat bottom up dan open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu sendiri yang harus langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran. Persoalan yang mungkin harus dijawab adalah:  Bagaimana memberdayakannya?

Banyak program pemberdayaan yang telah dilaksanakan pemerintah, salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP).  Pada intinya program ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: Kelembagaan, Pendampingan dan Dana Usaha Produktif Bergulir.

DAFTAR PUSTAKA

Anonima. 2010. Perubahan Sosial Budaya. http://www.crayonpedia.org. Diakses pada hari Minggu, 18 Maret 2012.

Anonimb. 2006. Dinamika Perubahan Sosial maritim.http://www.crayonpedia.org Diakses Selasa 12 Maret 2012 pukul  20.15 Wita

Anonimc . 2009. Mengatasi Perubahan Sosial Budaya. http://reza-andi.blogspot.com. Diakses pada tanggal 19 April 2012 pukul 20.00 WITA.

Martono, Nanang. 2011. Perubahan Sosial. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Tim Pengajar. 2011. Wawasan Ssosial Budaya Maritim. Universitas Hasanuddin. Makassar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun