Mohon tunggu...
Muhammad Hatta
Muhammad Hatta Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Staf Dokter Badan Narkotika Nasional

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mimpi Remunerasi Tenaga Kesehatan

11 Januari 2011   16:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:42 4528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun yang lalu pernah beredar sebuah joke tentang Pegawai Negeri Sipil(PNS). Katanya , abdi negara tersebut tak dapat direfleksikan secara kongruen dengan sifat-sifat baik seperti jujur dan pintar. Jika ada PNS yang jujur maka pastilah ia tidak pintar. Jika PNS tersebut pintar, 99% ia tidak jujur. Dan bila ia jujur dan pintar, tentunya ia bukanlah PNS..

Terbongkarnya kasus korupsiGayus Tambunan dkk seakan membenarkan lelucon tersebut di atas. Seorang PNS Ditjen Perpajakan bergolongan IIIa bisa memiliki harta bermilyar-milyar rupiah membuat banyak orang menggeleng tak percaya. Bagaimana bisa seorang PNS yang tak perlu berpeluh sesak dan duduk nyaman di ruangan berpenyejuk udara dapat memiliki membawa pulang penghasilan hampir 6 kali lipat gaji PNS biasa?

Inilah antitesis program remunerasi pemerintah yang alih-alih mengutamakan birokrasi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti janji-janji sebelumnya, namun ternyata menganut paham kolonial: departemen yang mengurusi keuangan negara harus diprioritaskan, laksana bendahara yang mesti bergaji tinggi agar tak korupsi. Mungkin itu sebabnya Ekonom Rizal Ramli meminta dilakukan penghentian sementara(moratorium) sistem remunerasi dikalangan Kementrian Keuangan(Kemkeu) untuk diperbaiki sistemnya terlebih dahulu. Menurut peneliti senior lembaga Econit tersebut, insentif itu janggal karena lebih dahulu diterapkan kemudian peningkatan kinerja(Antara, 5-4-2010). Juga disebut sebagai tindakan diskriminatif dan mencederai rasa keadilan PNS yang bertugas di instansi pemerintahan yang lain karena tidak berdasar pada beban dan resiko kerja(workload factor).

Semestinya, program remunerasi ini lebih memprioritaskan instansi-instansi vital dan bersifat public service seperti TNI/Polri dan sektor kesehatan/pendidikan ketimbang organisasi administratif di tingkat pusat seperti lembaga tinggi negara dan perbendaharaan negara. Ibarat membuang garam ke laut, pemberian gaji tinggi agar yang bersangkutan tidak korupsi merupakan pemikiran superfisialistik, tidak substantif dan sia-sia belaka.

Pertengahan 2010 lalu, terjadi sebuah “diskusi” seru pada kolom pendapat sebuah koran lokal di Makassar.Yang diperdebatkan berawal dari hal sepele : seorang perawat mempersoalkan tunjanganguru sekolah yang lebih besar daripada tunjangan tenaga kesehatan(nakes). Ia membandingkan beban kerja seorang guru – yang bila sekolah libur, ia ikut berlibur, sementara nakes harus tetap masuk dinas jaga di institusi kesehatan seperti RS dan Puskesmas, walau tanggal merah sekalipun- yang dinilainya tidak seberat beban kerjanya. Sontak pelbagai balasan SMS bernada pedas bermunculan dari kalangan pendidik , hingga yang nyaris menghina : “saudara tidak bisa menjadi dokter/perawat kalau tidak melewati sekolah dasar dan menengah. Camkan itu!”.

Tak perlu mempersoalkan debat yang tentu tak berujung pangkal ini. Yang mesti direnungkan adalah pernyataan sikap nakes PNS tersebut menggambarkan frustrasi dan kekecewaan mendalam kalangan berseragam putih ini terhadap sistem penghargaan pemerintah yang berlaku saat ini.

Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan terdepan , merupakan contoh nyata “ketidakadilan” tersebut. Sudah lazim seorang nakes menghadapi ratusan pasien tiap hariapalagi di bawah panji program kesehatan gratis yang digadang-gadang Gubernur Syahrul Yasin Limpo hampir 3 tahun lalu. Pemerintah tidak pernah memperhitungkan kontak nosokomial yang dapat menimpa nakes itu sendiri, hanya jasa tindakan medik yang dikalkulasi. Tak ada insentif tambahan dan pemeringkatan tunjangan bagi nakes di garda terdepan pelayanan, yang otomatis beresiko tinggi terkontaminasi penyakit-penyakit yang ditularkan oleh pasien yang datang berkunjung. Ironisnya, insentif tersebut lebih “mengenal” jabatan dan golongan ketimbang beban kerja yang diemban. Seorang teman sejawat yang bertugas sebagai dokter di sebuah puskesmas kepulauan bercerita bagaimana ia membanting tulang melayani dan mengobati pasien hanya untuk gigit jari melihat insentif dan sebagian jasa mediknya terbang ke kantung sang Kepala Puskesmas – seorang sarjana kesehatan masyarakat - yang tak pernah bersentuhan langsung dengan pasien.

Sektor kesehatan kalah jauh dengan institusi pemerintah lain seperti Lembaga Pemasyarakatan yang bernaung di bawah Departemen Hukum dan HAM. Di dalam penjara, tiap staf memiliki tunjangan yang berbeda-beda tergantung besar kecilnya resiko yang dihadapi. Seorang sipir yang bertugas di bagian pengamanan dalam (yang otomatis bersentuhan langsung dengan narapidana setiap hari) memiliki tunjangan yang lebih besar daripada staf penjara yang hanya mengurusi administrasi, misalnya.

Jadi jangan heran bila kebanyakan layanan kesehatan kita di aras primer masih terkesan asal-asalan dan di bawah standar. Selama kesehatan masih dianggap sebagai penunjang, bukan hal yang utama dalam proses pembangunan nasional bangsa, kita akan terus terjebak dalam lingkaran setan tanpa batas ini. Dan para nakes pun boleh bermimpi mendapatkan remunerasi, entah sampai kapan…

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun