Mohon tunggu...
Muhamad Zulfikri Al Bukhori
Muhamad Zulfikri Al Bukhori Mohon Tunggu... Guru - Pribadi

Mencapai perwujudan ulul albab

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Teknologi dan Sumber Daya Manusia

24 April 2022   17:00 Diperbarui: 24 April 2022   17:09 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada tahun 2020, Netflix merilis sebuah film dokumenter yang mengangkat isu perkembangan teknologi, khususnya sektor media sosial dengan sederet masalah yang menghampiri umat manusia. Film tersebut berjudulkan The Social Dilemma, dengan menghadirkan citra kehidupan manusia pada era digital sejauh ini dan dalam beberapa sudut, hadir para ahli maupun praktisi dari berbagai bidang mengemukakan pendapat maupun kajian keilmuaannya terhadap fenomena tersebut. Baik itu teoretisi pengetahuan, praktisi teknologi, ahli ekonomi, ahli psikologi, hingga para ahli pemrograman. Kesemuanya saling kait-kelindan menjadi akumulasi kompleks akan berbagai gejala yang muncul atas keberadaan media sosial.


Mengertilah kita, bahwa media sosial dengan beragam jenisnya tak sebatas klik, suka, dan bagi. Ada jejaring rumit hadir di tengah-tengah manusia sebagai subjek pengguna. Media sosial menjadi ruang ramai-sesak yang hilir-mudik beragam kabar, informasi, hingga pengetahuan. Tak ada batasan bagi seorang pengguna atau kemudian kita kenal dengan warganet dalam melakukan apa saja di sana. Teknologi sentuh layar tersebut menjadi dunia baru dengan kebebasan, kemudahan akses, dan kecepatan yang menjadikan orang mudah terperangkap: bahwa dirinya harus ambil peran di sana.


Namun, kenyataan yang muncul tak seperti banyak kita banyangkan. Akan bagaimana media sosial berjalan dengan tertib dan penuh ketertiban komunikasi berjalan dengan baik dan lancar, informasi masuk akal yang mengisi ruang-ruang tersebut, maupun pengetahuan dengan dasar otoritas yang berkembang dengan gilirannya menjadikan ruang tersebut sehat. Ada gejala yang justru sebaliknya hadir dalam lorong demi lorong media sosial. Kita menghadapi situasi yang barangkali menjengkelkan. Simpang siur informasi, kabar bohong, hingga ancaman dalam ruang digital seperti pencurian data, penipuan, dan pembohongan. Satu kutipan penting dari film The Social Dilemma berupa "Jika kau tak membayar produknya, berartilah kau produknya." Itu menandaskan bahwa Google itu bukan sebatas mesin peramban, Facebook tak hanya berfungsi untuk berbagi kabar berita, Twitter bukan hanya sarana mencuit informasi terbaru, Instagram bukan perkara bagi foto dan menyukainya, dan TikTok bukan sebatas urusan joget semata. Ada jejaring yang muncul, bahwa di sana ada keterkaitan antara penyedia jasa dengan pengiklan. Data yang masuk dan terekam di berbagai ruang media sosial secara otomatis bisa menjadi bank data bagi penyedia jasa maupun para pengiklan.


Kabar buruknya, relasi antara penyedia jasa layanan dan pengiklan itu memungkinkan mereka untuk bersekongkol membuat model dengan fungsi untuk melakukan prediksi terhadap tindakan kita. Maka, di ruang digital seperti halnya media sosial muncul sebuah pola yang beraturan. Di kolom pencarian kerap kita menjumpai hal yang sedang kita gemari, baik itu urusan belanja, hobi atau kesukaan, bahkan sampai pada pilihan politik. Ruang digital pada ahirnya rentan melahirkan perubahan dalam banyak aspek baik itu perilaku, cara berpikir, hingga sampai jati diri.

Membaca Gejala
Gejala apa yang kemudian dapat kita petakan dan menjadikan renungan bersama dalam kenyataan-kenyataan itu? Ada pertaruhan yang mendasar di sana akan bagaimana keterasingan diri yang menghinggapi diri manusia. Manusia rentan terjebak dalam situasi itu dengan beragam konsekuensi yang nantinya muncul. Tak ayal, Iwan Pranoto pernah menulis dalam sebuah bukunya begini: jika Narcissus dalam mitologi menggilai ketampananannya sendiri, Narcissus di zaman digital ini menggilai pendapatnya sendiri. Tiap manusia dapat merasa lingkungannya selalu menyepakati pendapatnya, bahkan tiap individu secara tak sengaja mengonstruksi kebenaran versinya.


Dengan bertambahnya hari, individu semakin bersikeras meyakini kebenaran pendapatnya sendiri dan sekaligus menganggap bahwa di luar itu salah dan tidak penting. Terhadap ancaman ilmu pengetahuan akibat dari kompleksitas yang muncul dalam ruang digital kita menghadapi permasalahan yang disebut kecongkakan intelektual. Kondisi di mana orang di ruang digital merasa benar sendiri dan tak menerima kritik yang hadir. Seseorang dengan popularitas dalam media sosial ketika mengatakan apa saja, berpeluang mempengaruhi para pengikutnya. Tentu, kita berharap yang dikatakan didasarkan pada otoritas kebenaran. Namun, apabila sebaliknya yang dikatakan, wajarlah yang terjadi adalah perusakan nalar publik dan polarisasi.

Gejala tersebut bisa jadi telah memasuki ruang-ruang dalam kultur akademis. Efek domino yang muncul dengan perlahan mengubah cara pandang kelompok akademis dalam riuh-ramai atas keberadaan dan perkembangan teknologi. Kita mendapati situasi tersebut Misalkan pada habitus mahasiswa secara umum. Bagaimana kelompok mahasiswa tak sedikit "gagap" dalam upaya penyesuaian diri terhadap perubahan dalam revolusi digital. Kita ambil contoh sederhananya dalam ranah wajah media sosial; barangkali mahasiswa saat ini hanya gandrung pada budaya narsis dalam berbagai wahana media sosial.

Kita mungkin perlu membaca kembali akan gagasan sosok Andi Hakim Nasoetion tatkala kurang lebih sepuluh tahun lalu menulis sebuah esai berjudulkan Ketekunan yang Langka dengan menyoroti berbagai masalah pelik dalam kultur di perguruan tinggi. Salah satu di antaranya adalah saat dimana situasi sebagian sivitas akademis lebih mementingkan perkara kegiatan yang berkedok "agama" ketimbang kajian yang mengedepankan pengembangan ilmu pengetahuan. 

Tulisan tersebut tentu relevan saat ini dengan konteks permasalahan perihal kultur intelektual. Perkembangan teknologi turut serta melahirkan kebudayaan baru dalam kehidupan. Dimana perlu dipahami bahwa terus ada aspek kemenduaan yang menjadikan posisi keberadaan teknologi menjadi paradoks. Di satu sisi, mudah dan efektifnya dalam melakukan akses informasi dan pengetahuan, di sisi lain teknologi juga melahirkan sengkarut masalah dalam kehidupan. Di sana ada pertaruangan yang hadir dalam berbagai sektor kehidupan, baik itu pendidikan, bisnis, politik, psikologi, bahkan ideologi.

Teknologi dan Sumber Daya Manusia
Akan menjadi masalah yang berarti bagi organisasi jikalau pola yang kemudian diterapkan hanya sebatas mengikuti arus utama dalam keberadaan teknologi. Teknologi tak sebatas dipahami mahir dalam menggunakan saja. Akan tetapi, disana ada relasi yang menyangkut banyak perkara. Mulai dari perubahan sosial, kebudayaan, moralitas, dan bahkan ekonomi. Dari sana, satu hal yang mesti dilakukan adalah bagaimana melakukan pembacaan dengan mendalam, kemudian dapat bertindak dengan didasari pertimbangan demi pertimbangan.

Perkembangan teknologi memang mendesak tiap manusia untuk tidak ketinggalan. Sama halnya manusia perlu memandang teknologi dari segi aspek kebaikan, bagaimana setidaknya pemanfaatan perkembangan teknologi yang ada menjadikan aktifitas berjalan dengan baik, tentunya lebih cepat, dan sebagai upaya untuk terus mendayagunakan sumber daya yang ada di dalamnya. Di luar hal yang bersifat teknis, kiranya perlu melakukan perenungan lebih lanjut untuk memaknai hakikat keberadaan teknologi itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun