Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Modern: Antara Kemajuan dan Kemunduran

27 Desember 2021   07:06 Diperbarui: 2 Januari 2022   00:22 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada apa dengan pola pandang kita?
Kenapa segala sesuatu yang berasal dari barat dianggap maju?
Mengapa modernisasi dianggap sebuah kelebihan?


Apakah kita pernah bertanya-tanya kepada modernisasi? Pernahkah kita melihat bahwa sesuatu yang dianggap modern justru memberikan dampak kemunduran? Atau pernahkah kita mengoreksi pola pandang dan pemikiran kita tentang pola hidup tradisional kerabat di Timur? Ada banyak sekali pertanyaan sederhana yang coba mempertanyakan ulang pemahaman kita tentang kemajuan dan kemunduran.


Orang-orang yang terbiasa hidup di Indonesia bagian barat, atau kota-kota besar di negeri ini kerap memandang tidak maju bagi segala sesuatu yang tidak modern. Kehidupan orang-orang urban yang tinggal atau yang menetap lama di Jakarta misalnya, modernisasi yang telah merambah di segala aspek telah memberikan perubahan pola pikir tanpa tidak kita sadari. Pertumbuhan pembangunan seperti transportasi, gedung-gedung, fasilitas publik, hingga kebutuhan dapur yang serba ter-modernisasi secara kontan memberikan kacamata yang berbeda bagi warga di barat. Ketika kita melihat kabar saudara kita melalui media digital atau mata telanjang, lantas kita menganggap itu sebagai sebuah kekurangan atau kemunduran kepada kerabat kita yang masih hidup dengan cara tradisionalnya.


Sekarang coba kita pikirkan sama-sama melalui tulisan ini. Ponsel pintar yang belakang ini menjadi jantung hati kita telah memberikan perubahan mental yang cukup signifikan pada manusia saat ini. Ia lebih dekat dari seorang kekasih, bahkan ia lebih dekat dari kepercayaan yang kita peluk. Sadar atau tidak, ponsel pintar temuan barat telah mengantarkan kita pada dunia yang baru. Dunia yang berbeda dari karakter kita di timur. Sudah berapa kali kita membuat janji dengan rekan sejawat? Sudah berapa kali kita mengirim pesan melalui whatsapp untuk memastikan perjumpaan itu? Dan sudah berapa kali kita mengonfirmasi kedatangan kita yang kerap kelewat waktu? Apa lagi kalau memang sudah hilang gairah untuk bertemu, kita tinggal mengetik kata "maaf" dan semua yang sudah diperhitungkan seketika selesai tanpa menghasilkan apa-apa, sangat mudah.


Sementara saudara-saudara kita yang masih menggunakan cara tradisional, mereka tidak membutuhkan kabar dari pesan whatsapp untuk mengonfirmasi waktu perjanjian. Apa yang mereka dengar pertama kali, apa yang mereka janjikan saat itu, pada hari selanjutnya mereka menunaikan apa yang mereka sepakati tanpa perlu bertanya lagi melalui pesan whatsapp seperti kaum OTW dan Wacana. Nilai kepercayaan dan gairah perjumpaan untuk melepas rindu amat sangat mengikat kualitasnya. Dan kini hampir tidak bisa kita jumpai keadaan yang seperti itu, karena hampir semua orang telah hidup dengan elektronik yang digenggamnya, kecuali bapak-bapak yang hobi menguras air got ke jalan. Apa lagi mereka yang tidak memiliki ponsel pintar dianggap tidak maju dan tidak modern, atas dasar kebutuhan informasi yang terus berkembang dan kalau tidak dipenuhi maka akan semakin terbelakang.


Pada acara televisi My Trip My Adventure dan acara olahan kreatif Jejak Si Gundul, ada beberapa episode yang menarasikan bahwa memasak dengan kayu bakar merupakan sebuah keterbatasan. Si pembawa acara yang entah bagaimana isi kepalanya telah membenarkan bahwa memasak dengan gas adalah sebuah kemajuan. Yang padahal sebenarnya mereka yang memasak dengan kompor dan gas bisa dibilang hidup di wilayah yang miskin sumber daya. Gas yang digunakan oleh warga Jakarta misalnya, untuk memasak saja sumber daya yang digunakan bukankah berasal luar daerah? Dan karena tidak adanya kayu bakar, maka warga perkotaan memasak dengan gas dan kompor.


Gas dan kompor dianggap sebagai sebuah kemajuan di zaman yang serba ter-modernisasi, sementara pasokan gas LPG kerap langka dan tidak jarang memberikan kesengsaraan bagi para ibu-ibu rumah tangga dan pedagang kaki lima. Di belahan negeri yang lain, kehidupan tradisional memasak dengan kayu bakar merupakan sebuah kelebihan karena bahan ini banyak ditemukan di lingkungan mereka. Bahkan mereka tidak sampai kelimpungan mencari kayu bakar, apalagi sampai langka seperti gas LPG.


Contoh lain misalkan seperti, sudah berapa banyak kita berjalan kaki setiap hari? Terkadang orang-orang perkotaan untuk pergi keluar gang saja kudu menstater motor. Atau kita yang kebangetan malas kadang-kadang meminta jasa melalui ponsel pintar untuk membeli makanan. Sementara suku Badui di pelosok Banten sana, tidak membutuhkan sepeda motor untuk menjajahkan madu. Mereka tidak hanya sedang menjalankan kehidupan yang dipetuahkan leluhurnya saja, tetapi juga adanya nilai lain yang dapat kita lihat dengan kacamata kemajuan. Selain mereka menjaga nilai leluhur, suku Badui memiliki kekuatan fisik yang berbeda dengan kaum rebahan di Jakarta. Bahkan mereka menjadi daya tarik para wisatawan oleh karena keunikannya.


Kalau kita lihat modernisasi telah memberikan arti yang cukup jauh tentang perubahan pola pikir kita, bahkan sampai kepada perubahan mental. Belum lain kebutuhan ini membuat pemborosan sumber daya alam secara besar-besaran. Penggunaan bahan bakar kendaraan misalnya, sudah berapa liter mobil atau motor kita membeli Partamax di SPBU? Dan sudah berapa liter bahan bakar minyak bumi yang sudah kita habiskan setiap tahunnya? Manusia-manusia tradisional di Banten atau Papua berusaha sekeras mungkin untuk menjaga nilai-nilai yang dipetuahkan leluhurnya dan kebaikan yang di dapatkan mereka adalah alam yang senantiasa memberikan kehidupan. Sementara kita terus melakukan penjajahan ideologi kemodernisasian dengan menganggap mereka yang bertahan dengan cara tradisional tengah bertahan hidup dengan penuh kekurangan dan keterbatasan.


Modernisasi di barat telah memberikan pola pikir kepada warganya untuk memandang sebelah mata bagi para kerabat kita yang masih bertahan dengan kehidupan tradisional. Mereka sama sekali tidak mundur, terbelakang atau berjalan di tempat, mereka adalah contoh manusia yang berupaya berbaur dengan alam. Memanfaatkan apa yang melimpah di alam mereka sebagai sebuah karunia secara gratis. Monopoli kemodernanlah yang membuat seolah-olah mereka terbelakang dengan sejumlah keterbatasan mereka. Padahal alam memberikan kebaikan yang tak terbatas selagi kita tidak mengeksploitasinya berlebihan. Dan kebutuhan modernisasi di barat telah merenggut semuanya dari mereka. Seperti lumpur Lapindo yang telah menenggelamkan kampung-kampung mereka, atau seperti keadaan laut Utara Jawa yang sepanjang pantainya keruh akibat efek dari kebutuhan modernisasi. Atau tanah di Kalimantan dan hutan-hutan mereka yang sebentar lagi akan menjadi korban modernisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun